DANA KAMPANYE CAPRES DAN UTANG BUDI Oleh: Sonny Wibisono *
Bila tidak ada aral melintang, dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Indonesia akan menentukan masa depannya dengan memilih siapa yang akan menduduki kursi nomor satu di negeri ini. Untuk pertama kalinya, pemilihan presiden secara langsung dilaksanakan di negeri ini setelah kita menyatakan kemerdekaan 59 tahun yang silam.
Kampanye pemilihan presiden dijadualkan berlangsung dalam waktu satu bulan, terhitung mulai tanggal 1 Juni hingga 1 Juli 2004. Salah satu isu terpenting dalam kampanye pilpres ialah mengenai dana kampanye. Berdasarkan pengalaman pemilihan yang baru saja dilaksanakan, kita tidak pernah memberikan perhatian secara optimal tentang sumber dan penggunaan dana kampanye.
Berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII), dalam pemilu yang baru saja berlangsung, misalnya saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menghabiskan dana sekitar Rp 241 miliar, tetapi yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 103 miliar. Menyusul kemudian, Partai Golkar yang menghabiskan dana sekitar Rp 169 miliar tetapi hanya dilaporkan Rp 83 miliar dan Partai Amanat Nasional yang mengeluarkan dana kampanye sekitar Rp 76 miliar tetapi yang dilaporkan Rp 15 miliar.
Dana tersebut memang belum termasuk dana yang dipakai untuk membuat alat peraga kampanye dan biaya transportasi untuk para pendukung parpol atau caleg. Untuk kampanye pemilihan presiden nantinya, dana yang dibutuhkan dapat saja membengkak. Lantas, darimana para kandidat yang bakal bertarung dalam pilpres nantinya mendapatkan kucuran dana tersebut?
Bermodalkan dana dari internal partai jelas belumlah cukup, oleh karena itu harus dilakukan fund raising secara besar-besaran. Dana tersebut kemungkinan besar didapatkan dari luar partai, umumnya mereka mengandalkan dari para pengusaha atau tokoh papan atas.
Kampanye pemilihan presiden memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dalam pemilu legislatif lalu. Dana yang dibutuhkanpun diperkirakan akan melambung tinggi mengingat mengambil momentum seperti ini, media cetak dan elektronik sudah pasti akan menaikkan harga rateiklan mereka. Sebagai perbandingan di negara Paman Sam, dalam perkembangan terakhir, John Kerry, calon penantang Presiden George W Bush, menganggarkan USD 90 juta atau sekitar Rp 775 miliar.
Angka tersebut tentu saja belum ada apa-apanya dibandingkan biaya kampanye legislatif PDIP sebesar Rp 241 miliar. Padahal, anggaran kampanye PDIP itu adalah yang terbesar dibandingkan partai lain peserta Pemilu 2004. Penggalangan dana untuk kampanye pilpres tentu saja sesuatu yang sah, sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam UU Pemilu disebutkan, sumbangan dari perseorangan tak boleh lebih dari Rp 100 juta dan badan hukum swasta tak boleh lebih dari Rp 750 juta.
Lebih lanjut dalam soal dana kampanye, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada akhir April lalu mengeluarkan Keputusan No. 30 Tahun 2004 tentang Panduan Audit Laporan Keuangan Partai Politik dan Audit Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum. Secara keseluruhan isi keputusan ini mencakup juklak untuk audit laporan dana kampanye parpol dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan audit laporan dana kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Semua ketentuan mengenai hal-hal ini diatur dalam Pasal 2, 3, dan 4, yang kemudian dirinci di dalam lampirannya. Rincian di dalam lampiran itu mencakup tiga pokok bahasan besar, yaitu penerapan prosedur yang disepakati atas laporan dana kampanye Pemilu; prosedur pemeriksaan atas dana kampanye calon anggota DPD; dan penerapan prosedur yang disepakati atas laporan dana kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ketiga pokok bahasan itu menjelaskan mengenai bagaimana prosedur pemeriksaan atas saldo awal, sumbangan nonkas dari partai dan para calon, dan seterusnya.
Audit yang dimaksud dalam keputusan KPU ini adalah audit umum untuk menyatakan pendapat atau opini akuntan atas kewajaran penyajian laporan keuangan tahunan partai politik. Audit atas laporan dana kampanye peserta Pemilu adalah audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures).
Dalam aturan ini memang tidak dijelaskan secara tegas bahwa dalam setiap dana yang masuk, terinci dengan gamblangberapa besarnya dan bersumber dari mana. Dalam hal ini, KPU hanya bisa menanyakan kepada calon presiden dan calon wakil presiden mengenai asal-usul dana kampanye dan identitas penyumbangnya jika ditemukan ada penyumbang anonim atau penyumbang yang tidak masuk daftar penyumbang.
Memang, beberapa kalangan meragukan kejujuran sumber-sumber dana dan jumlah nominal untuk modal kampanye partai politik di sini. Misalnya, apakah memang betul, jumlah dana kampanye yang diperoleh dari simpatisan tidak melebihi ketentuan yang diatur UU No 13/2003?
Di AS, kontrol terhadap sumber-sumber pendanaan calon presiden begitu ketat. Aturan yang dibuat di sana juga sudah bersifat baku. Di AS, daftar penyumbang dari simpatisan calon presiden dipublikasikan secara terbuka. Sehingga masyarakat di sana relatif mengetahui dari mana saja modal dana untuk kompetisi politik para calon presiden yang akan bersaing tersebut. Dalam setiap kucuran yang dikeluarkan oleh para donatur kepada para kandidat, tentu saja terdapat kepentingan-kepentingan tertentu yang mewakilinya, no free lunch, tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini.
Para perusahaan besar di AS mau menyumbang sebagai bagian dari upaya membina hubungan baik kepada calon presiden. Sehingga, jika kelak capres tersebut terpilih, perusahaan-perusahaan itu mendapatkan proteksi ekonomi politik atau mendapatkan keuntungan dari lisensi-lisensi ekonomi politik.
Bagaimana di negeri ini? Sama halnya, tetap ada simbiose mutualisme atau saling menguntungkan kedua belah pihak. Suatu saat bagi para donatur tersebut, bila memang para kandidat yang disumbangkan tersebut kelak menjadi presiden harus ada ‘buah’ yang dipetik dari ‘benih’ yang ditanamnya.
Disinilah pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam hal pengaturan dana kampanye pemilihan presiden. Masyarakat sebaiknya ikut memantau pengumpulan dana kampanye calon presiden yang mendapat sumbangan dari pihak-pihak lain. Langkah ini penting, karena dikhawatirkan bila presiden terpilih, akan mempunyai utang budi dengan penyumbang yang kita tidak tahu dan kemudian presiden terpilih harus membalas budi kepada si donatur.
Masalah menjadi rumit ketika para penyumbang tersebut adalah koruptor atau seorang terdakwa. Bukan tidak mungkin mereka akan menuntut ‘keadilan’ menurut versi mereka. Biar bagaimanapun, rakyat berhak tahu mengetahui asal-usul dan penggunaan dana tersebut. Harus diperjelas aturan main dalam soal ini.
Bila tidak, bersiaplah negara ini mempunyai presiden hasil ‘binaan’ para koruptor, atau justeru sebaliknya, negara ini ternyata dipimpin oleh seseorang, yang dinilai tak ubahnya sama saja dengan koruptor, dimana sumber pendanaan kampanyenya saat itu tidak jelas asal-asul dan penggunaannya.
* Pernah dimuat di Koran Tempo - Jumat, 11 Juni 2004
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.