HARI BATIK, NOT SPECIAL. Media sosial hari ini dipenuhi dengan foto orang-orang memakai batik dengan berbagai ragam motif, corak, dan bentuk. Hari ini memang bertepatan dengan Hari Batik Nasional. Awalnya, Presiden Soeharto (saat itu) begitu gencar mengenalkan batik kepada dunia internasional pertengahan tahun 1980-an Batik Indonesia lalu didaftarkan untuk mendapat status intangible cultural heritage (ICH) melalui kantor UNESCO di Jakarta oleh Kantor Menko Kesejahteraan Rakyat mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia, pada 4 September 2008. Dan, pada 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional, mengingat pada tanggal tersebut, Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) secara resmi mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia.
Sah saja masyarakat menunjukkan kecintaannya pada Batik. Tapi bagi saya pribadi, tak ada yang spesial untuk hari ini. Hari ini sama saja dengan hari-hari lainnya. Kecintaan saya pada batik tak diucapkan dengan kata-kata atau khusus memakai batik pada hari ini saja. Mengapa? Karena toh, hampir tiap hari saya memakai batik. Kurang konkret bagaimana lagi?
Koleksi baju saya di lemari memang lebih banyak batik ketimbang kemeja atau pakaian lainnya. Kebanyakan batik-batik tersebut pemberian dari atasan, kolega, atau saat saya berdinas ke daerah. Saat almarhum ayahanda wafat, beliau mewarisi sejumlah batik. Kebetulan ukuran bajunya sama dengan saya. Alhasil, lemari saya tak muat dengan limpahan tambahan pakaian batik tersebut. Sebagian lalu saya sumbangkan bagi mereka yang membutuhkan.
Memakai batik bagi saya itu fleksibel. Tak ada ruang dan jarak ketika saya harus berinteraksi. Pernah, satu ketika saat saya pergi ke minimarket di bilangan Rawamangun, Jakarta dengan memakai batik lengan pendek, seorang pria berumur menghampiri saya. Dia bertanya, “darimana bapak mendapatkan pakaian ini?” sambil menunjuk batik yang saya kenakan. Tentu saja saya kaget dengan pertanyaan itu. Saya jawab, saya memperolehnya ketika saya bertugas ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bapak itu bilang bahwa pakaian yang saya kenakan jarang ada yang memakai, jadi dia kaget ketika saya mengenakan batik tersebut. Bayangkan, ke minimarket dengan batik, dan tahu-tahu ditanya sesuatu diluar dugaan. Beberapa kali pula saya disindir teman, “loh mau kondangan Son?” Itupun batik yang saya kenakan batik lengan pendek, bukan lengan panjang layaknya mau kondangan. Mungkin karena pada dasarnya saya memang enak dipandang, apalagi memakai batik. ‘Goodlooking’kalau kata istilah seorang pejabat saat ini. Mungkin ya.
Tapi bukan berarti saya anti dengan pakaian non-batik. Biasanya saya pakai selain batik sesuai kebutuhan yang memang mengharuskan demikian. Saya hanya bisa memberikan saran, pakailah sesering mungkin batik, jangan hanya hari-hari tertentu saja, apalagi dipakai saat pas hari Batik saja. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang memakai batik? Hanya dengan itulah, secara sadar atau tidak, kita sudah melestarikan satu warisan budaya terbaik yang kita miliki. Sepakat?
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.