a a a a a a a a a a a a a a a
Logo Header
Blog

Blog

Home /
/ LSM: SUARA DONOR ATAU SUARA RAKYAT?
LSM SUARA DONOR ATAU SUARA RAKYAT

LSM: SUARA DONOR ATAU SUARA RAKYAT?

LSM: SUARA DONOR ATAU SUARA RAKYAT?
Oleh: Sonny Wibisono *

Dalam pelaksanaan pemilu 2004 yang baru saja berlangsung, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari negara-negara donor sebesar 32 miliar rupiah. Bantuan tersebut diberikan kepada 28 institusi yang sebagian besar adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk pendidikan pemilih bagi pemilih pemula dan diseminasi informasi pemilu 2004. KPU menetapkan ke 28 institusi yang mendapat dana tersebut melalui proses seleksi dan kompetisi yang tidak mudah. Proposal yang diajukan ke-28 lembaga itu merupakan saringan dari 323 proposal yang masuk ke panitia seleksi, tetapi hanya 239 yang bisa dipertimbangkan karena proposal lain datang terlambat dan menyalahi batas waktu penerimaan. Sumbangan bagi proses pemilu tahun ini banyak mengalir dari negara-negara asing yang kebanyakan dikoordinasi Badan Pembangunan PBB (UNDP) di Indonesia. Bantuan dari negara asing kepada LSM bukannya tidak pernah dipermasalahkan sebelumnya. Di awal tahun, Kastaf AD Jenderal Ryamizard Ryacudu bahkan menuding lembaga swadaya masyarakat (LSM) selalu berkait dengan kegiatan intelijen asing di Indonesia, “Mereka sering dijadikan alat bagi pihak asing untuk melancarkan operasi intelnya,”tegasnya (Koran Tempo, 6 Januari 2004). Iapun mengingatkan kepada para aktivis LSM untuk berhati-hati kepada pihak asing yang memberikan bantuan. Ryamizard memang tidak mengungkapkan LSM serta pihak asing mana yang berhubungan dan terkait dengan aktivitas intelijen tersebut. Tetapi apakah memang betul bahwa LSM yang kegiatannya didanai oleh pihak asing tersebut dapat dijadikan alat bagi pihak asing untuk melancarkan operasi intelnya?

Dalam bukunya: “Mengungkap Tabu Intelejen: Teror, Motif dan Rezim” (Panta Rhei, 2001), AC Manullang (mantan Direktur BAKIN) mengingatkan agar intelejen kita cekatan menghadapi gerak-gerik intelejen pihak lawan yang melakukan penetrasi dan infiltrasi secara clandestineatau tersamar ke berbagai elemen masyarakat. Ditambahkan pula olehnya, kegiatan clandestinetersebut sangat luas sasarannya, perwakilan suatu negara di negara lain, pihak imigrasi, bank, dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan bahan keterangan yang diinginkan. Dengan kata lain, lembaga swadaya masyarakat, terlebih lagi yang kegiatannya didanai oleh pihak asing termasuk di dalamnya. Jadi memang pernyataan Ryamizard bukan tanpa alasan. Data yang diperoleh di Departemen Dalam Negeri mencatat, hingga tahun 2002, jumlah LSM di Indonesia mencapai angka 13.500 LSM. Angka tersebut tentu saja belum termasuk LSM yang tidak tercatat. Dan memang, dari jumlah tersebut, 90 persen LSM yang ada di Indonesia didanai oleh pihak asing (Kompas, 13 Januari 2003).


Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau biasa disebut pula Organisasi Non-Pemerintah (Ornop), yang merupakan terjemahan langsung dari Non-Governmental Organizationdapat didefinisikan sebagai lembaga-lembaga yang berada di luar sektor Pemerintah maupun bisnis swasta, yang bergerak dalam berbagai kegiatan pembangunan atau pembelaan kepentingan umum, dan menekankan pencarian pola-pola alternatif serta pemberdayaan masyarakat. Jenis kegiatan LSM sendiri mulai dari advokasi publik, pekerja sosial, pemberdayaan dan penyadaran, bantuan kemanusiaan, lingkungan hidup, hak konsumen hingga soal penggusuran rumah. Selama ini memang LSM diidentikkan dengan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Banyak memang LSM yang lantang menyuarakan dan (katanya) mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apalagi bila ada kebijakan Pemerintah yang dilahirkan ternyata dinilai merugikan kepentingan rakyat, merekapun ramai berteriak. Vox populi vox dei, dan bukankah suara rakyat adalah suara Tuhan? Tetapi apakah keberadaan mereka memang semata-mata untuk menyuarakan kepentingan dan memperjuangkan nasib rakyat? Semenjak rezim Orde Baru tumbang, LSM tumbuh bagaikancendawan di musim hujan. Nyatanya memang tidak semua LSM yang berdiri tersebut benar-benar murni karena kepentingan rakyat. Berdirinya mereka sebagian disebabkan pula oleh persyaratan-persyaratan yang diterapkan oleh lembaga keuangan internasional. Ambil contoh Bank Dunia, yang mensyaratkan perlunya Pemerintah bekerjasama dengan LSM dalam proyek yang akan mereka kucurkan. Maka tak heran bila akhirnya muncul LSM ‘jadi-jadian’dan juga LSM yang dinamakan plat merah.Dengan kata lain, munculnya LSM disebabkan dua hal: pertama, karena kebutuhan riil masyarakat, dan kedua, karena adanya kucuran dana dari lembaga donor (funding).



Kalau memang pada akhirnya pihak donor mengucurkan dananya kepada para LSM tersebut, baik secara langsung ataupun tidak, apakah memang tidak terdapat agenda tersembunyi dari pihak donor tersebut ataupun dari negara yang diwakilinya? Yang jelas, pihak lembaga donor yang mengucurkan bantuannya tidak akan sembarangan dalam menyetujui proposal program yang ditawarkan oleh pihak LSM. Mereka akan memilah dan memilih program yang memang dirasakan ‘pas’ bagi mereka. Disadari atau tidak agenda dari lembaga donor yang sesungguhnya, seharusnya memang ketergantungan LSM pada pihak asing tidak baik jika berlangsung secara terus menerus, apalagi bersifat permanen. Ketergantungan ini bukan hanya makin melekatkan citra bahwa LSM merupakan kepanjangan tangan pihak asing, tetapi juga dapat mengubah tujuan awal dan ideologi yang diperjuangkan oleh LSM tersebut.



Perlu dipikirkan penggalangan dana yang berasal dari publik, yang tentu saja harus disertai akuntabilitas dan transparansi keuangan lembaga yang dikelolanya. Hal ini memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Banyak contoh yang dapat kita jumpai, lembaga-lembaga yang terorganisasi dengan baik tanpa adanya bantuan pihak asing. Mereka biasanya berbentuk yayasan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, pengusaha, atau berafiliasi dengan perusahaan tertentu. Ada pula lembaga yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan yang sukses dalam pengelolaannya, seperti Dompet Dhuafa (DD). Mengambil pelajaran dari DD, dalam operasinya sejak awal DD mendedikasikan dan mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada publik. Pertanggungjawaban tersebut dilakukan antara lain dengan publikasi perolehan dana dan artikel-artikel pendayagunaan dana yang dimuat di Harian Republika. Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik setiap tahun, dipublikasikan pula melalui berbagai media massa. Dalam perjalanannya, DD membentuk Badan Amanah, yang merupakan representasi masyarakat sebagai stakeholder lembaga. Dalam badan ini bekerja wakil-wakil masyarakat yang langsung berperan dalam menjaga lembaga untuk tetap mendedikasikan segala aktivitasnya, yang bertujuan bekerja hanya untuk kepentingan masyarakat. Sehingga perkembangan lembaga tetap dalam kendali masyarakat sebagai pemilik. DD adalah sebuah contoh sukses bagaimana suatu lembaga nirlaba dapat dikelola secara profesional dengan mengusung prinsip-prinsip good governance.



Salah satu fungsi LSM memang untuk melakukan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan. Jangan sampai fungsi ini melenceng hanya karena ketergantungan dari pihak donor. Ketergantungan minimal harus dikurangi. Perlu dipikirkan dengan seksama, bagaimana menggalang kekuatan domestik untuk membiayai kegiatan LSM. Dalam hal ini, Pemerintah sebaiknya juga menetapkan beberapa langkah yang mendorong kemandirian penggalangan sumber dana publik bagi LSM. Hal ini misalnya dengan diberlakukannya pembebasan pajak (tax exemption) pada sumbangan-sumbangan perseorangan atau perusahaan yang diberikan untuk organisasi-organisasi non-Pemerintah. Dan berlaku pula bagi bantuan yang ditujukan untuk yayasan yang dananya bersumber dari masyarakat setempat, juga bagi upaya pengumpulan dana oleh masyarakat setempat, serta bagi usaha-usaha setempat yang dijalankan oleh organisasi-organisasi non-Pemerintah. Pemerintah tentu saja harus menetapkan kriteria yang lebih ketat dengan diberlakukannya pembebasan pajak tersebut, dan juga dapat menuntut transparansi yang lebih besar soal pertanggungjawaban keuangan organisasi non-Pemerintah tersebut. Dengan bertumpunya sumber dan penggalangan dana pada kekuatan domestik, maka akan menghilangkan ketergantungan LSM dari donor asing, sehingga tidak ada lagi saling curiga, dan tidak ada lagi saling tuding. Para penggiat LSM juga perlu melakukan reorientasi dalam memperoleh dana dari donor, menengadahkan tangan kepada pihak donor dengan tarif dolaratau pound memang memang membuat dada ini terasa nyaman. Tetapi biar bagaimanapun juga, kepentingan nasional harus dinomor satukan dan menjadi prioritas untuk diperjuangkan, dan sesuai hadist yang mengatakan, “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”

* Pernah dimuat di Suara Pembaruan - Selasa, 22 Juni 2004

Latest Post

SELAMAT JALAN MAS HILMANSELAMAT JALAN MAS HILMAN
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
IKAN CUPANG DAN RUJAKIKAN CUPANG DAN RUJAK
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
SAAT PAK HARTO MEMANGGIL PARA MENTERINYASAAT PAK HARTO MEMANGGIL PARA MENTERINYA
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.
KOMENTAR