a a a a a a a a a a a a a a a
Logo Header
Blog

Blog

Home /
/ MATINYA TAMAN BACAAN
MATINYA TAMAN BACAAN

MATINYA TAMAN BACAAN

MATINYA TAMAN BACAAN. Wabah pandemi, siapapun tahu, meluluh-lantakan sebagian besar dunia usaha. Tak peduli bisnis halal maupun haram. Semua kena imbasnya. Tak terkecuali dalam dunia literasi. Taman bacaan misalnya, yang ikut kena getahnya.

Taman bacaan disini didefinisikan sebagai penyewaan buku kepada pembaca oleh pengelola atau pemilik taman bacaan. Pembaca membayar sejumlah harga tertentu untuk buku yang dipinjamnya selama beberapa hari.

Sebelum pandemi saja, usaha ini berjalan secara ngos-ngosan. Mati segan hidup tak mau. Apalagi saat pandemi seperti sekarang ini. Mengapa begitu?

Seorang pengelola yang sekaligus pemilik taman bacaan bercerita betapa beratnya mereka menjalankan bisnis ini. Mari kita berhitung. Satu buah buku novel yang bagus saat ini dijual seharga 50 ribu hingga 100 ribu rupiah di toko buku. Katakan saja 100 ribu. Harga sewa satu buku di taman bacaan berkisar antara 2 ribu hingga 5 ribu rupiah. Maka agar balik modal atau BEP, buku tersebut dipinjamkan atau disewa oleh 20 hingga 50 pembaca. Bila durasi pinjaman selama 7 hari atau seminggu, maka diperlukan waktu 140 hingga 350 hari bagi pengelola taman bacaan mendapatkan modalnya kembali. Belum untung ya. Itu pun dengan catatan, setelah dikembalikan oleh penyewa, disewa lagi oleh pembaca lain. Begitu seterusnya tanpa jeda selama 140 hingga 350 hari. Setengah tahun hingga setahun penuh waktunya. Wow, mungkinkah? Padahal bisa jadi setelah dipinjam, buku tersebut akan dipinjam lagi oleh pembaca yang lain beberapa bulan kemudian. Bahkan jangan-jangan setahun kemudian.

Bagaimana kalau dinaikkan 10 ribu misalnya? Saya pernah bertanya kepada sejumlah remaja. Mereka bilang, lebih baik menabung dulu beberapa hari untuk membeli buku yang diincarnya.

Jelas, usaha ini tidak menguntungkan. Lain halnya bila taman bacaan yang dikelola memiliki tujuan non-komersil. Misalnya, dengan maksud menumbuh-kembangkan minat baca di kalangan pelajar dan khalayak luas. Uang yang didapat pun sebagai biaya pemeliharaan. Sungguh mulia bila ada jenis taman bacaan tersebut.

Nah, maka tak heran bila akhirnya taman bacaan yang ada menjual seluruh koleksinya ke publik. Mereka menyerah. Tak sanggup lagi mengelola. Mereka kebanyakan menjualnya di toko daring. Harga yang ditawarkan pun harga pasaran. Untuk novel cetakan lawas, harga berkisar antara 20 ribu hingga 50 ribu per satu buku. Tergantung kualitas bukunya juga. Jadi tinggal dikali saja bila ada sejumlah koleksi cerita tertentu.

Saya teringat di tahun 80-an begitu marak taman bacaan. Buku yang dipinjam yang menjadi favorit saat itu, misalnya serial silat karya Kho Ping Hoo. Untuk menyewanya bahkan harus rebutan dengan pembaca lain.

Saya tidak tahu, mengapa harga buku-buku tersebut, saat ini, terutama oleh pihak taman bacaan dirasa begitu mahal. Beberapa penerbit bahkan menjual dalam bentuk digital atau PDF. Ini pula yang membuat pelanggan taman bacaan beralih ke yang lebih murah dengan bentuk digital seperti itu.

Sayang memang bila taman bacaan satu demi satu akhirnya mati. Padahal dari mereka jugalah, budaya membaca di tanah air (pernah) berkembang dengan begitu pesat.

Latest Post

SELAMAT JALAN MAS HILMANSELAMAT JALAN MAS HILMAN
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
IKAN CUPANG DAN RUJAKIKAN CUPANG DAN RUJAK
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
SAAT PAK HARTO MEMANGGIL PARA MENTERINYASAAT PAK HARTO MEMANGGIL PARA MENTERINYA
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.
KOMENTAR