Menjerat Koruptor dengan Asas Pembuktian Terbalik Oleh: Sonny Wibisono
Terobosan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi memulai babak baru. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerapkan asas pembuktian terbalik kepada bekas pejabat kantor pajak dan Bappenas, Bahasyim Assifie. Pembuktian terbalik pertama kali diterapkan dalam kasus Bahasyim. Awalnya, PPATK mencurigai adanya transaksi keuangan yang mencurigakan direkening istri dan dua putri Bahasyim sejak tahun 2004 hingga 2010 yang mencapai Rp 932 miliar. Total saldo di seluruh rekening saat diblokir sekitar Rp 65 miliar. Suatu angka yang sangat fantastis untuk ukuran seorang pejabat kantor pajak sekelas Bahasyim.
Penyidik kemudian meminta Bahasyaim menjelaskan asal-usul hartanya. Namun, Bahasyim tidak dapat menjelaskan. Penyidik hanya dapat membuktikan korupsi senilai Rp 1 miliar, yang berasal dari pengacara kondang Kartini Mulyadi. Selebihnya, penyidik hanya menjerat dengan pasal pencucian uang. Di Pengadilan, Bahasyim diminta membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil berbagai usaha. Bahasyim memang menunjukkan berbagai dokumen yang ia katakan sebagai hasil dari usahanya. Namun, majelis hakim tidak mengakui seluruh bukti tersebut karena tidak sah menurut hukum.
Akhirnya, Bahasyim divonis hukuman penjara selama 10 tahun, ditambah denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Hartanya pun, senilai Rp 60,9 miliar ditambah 681.147 dollar AS dirampas untuk negara karena terbukti hasil tindak pidana korupsi.
Sebenarnya asas pembuktian terbalik bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan yang kita miliki. Ketentuan perundang-undangan mengenai pembuktian terbalik sudah ada. Hal itu tercantun dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan alat bukti itu hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Sedangkan dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menambahkan bahwa alat bukti bisa berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Dan dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan perihal kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan terdakwa digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Tapi mengapa selama ini ada kesan kuat para penegak hukum kita tidak mau menerapkan asas pembuktian terbalik? Hal ini secara kasat mata terlihat dari penanganan kasus Gayus. Kasus Gayus telah mencoreng wajah Pemerintah. Bahkan SBY sampai mengeluarkan Inpres. Satu instruksi itu ialah penggunaan metode pembuktian terbalik. Dengan kata lain, Gayus harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya. Keengganan para penegak hukum untuk melaksanakan instruksi tersebut dapat ditafsirkan sebagai pembangkangan karena hanya menjadikan instruksi sebagai macan kertas.
Begitu memprihatinkannya penanganan kasus Gayus, membuat Wakil Presiden Boediono memerintahkan agar penegak hukum menerapkan pembuktian terbalik dalam mengungkap kasus korupsi pajak Gayus HP Tambunan senilai Rp 28 miliar dan Rp 74 miliar. Metode pembuktian terbalik efektif dapat mengungkapkan kasus mafia pajak. Hal ini dijelaskan Wapres dalam jumpa pers di Jakarta pada Kamis, 24 Februari 2011.
Tapi nyatanya, Kapolri Jenderal Timur Pradopo angkat tangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kapolri mengakui belum dapat menerapkan pembuktian terbalik dalam penyidikan kasus kepemilikan harta Gayus. Menurut Kapolri, belum ada peraturan perundang-undangan yang memberi hak kepada penyidik untuk menggunakan metode pembuktian terbalik.
Mengapa dalam kasus Bahasyim dapat dilakukan, tetapi dalam kasus Gayus demikian sulitnya? Dapat dipahami bahwa kasus Gayus tidak berdiri sendiri, ia melibatkan banyak orang dan kelompok. Sedangkan dalam kasus Bahasyim, dapat diduga, ia hanya melakukan korupsi untuk dirinya sendiri. Memberi kesan kuat bahwa pihak kepolisian menyiasati undang-undang hanya untuk melindungi anggota mereka yang kemungkinan terlibat.
Dengan adanya pembuktian terbalik justeru mempermudah penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus korupsi. Apabila terdakwa atau tersangka tidak dapat membuktikan uang yang dimilikinya bukan hasil korupsi, maka negara akan menyita harta kekayaan terdakwa tersebut. Hal ini selain menguntungkan bagi negara, juga setidaknya memberi efek jera bagi para koruptor untuk berpikir berulang kali bila ingin melakukan korupsi. Semoga saja terobosan hukum yang dilakukan PN Jakarta Selatan tidak berhenti sampai disini saja dan dapat diikuti oleh lainnya.
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.