MENYOAL MASALAH TENAGA KERJA DI JAKARTA Oleh: Sonny Wibisono
Seperti diberitakan di Harian Jakarta, Jum’at minggu lalu (11/06/04), pengidap psikotik atau gangguan jiwa di Jakarta meningkat tajam. Dari data yang diperoleh, jumlah pengidap psikotik di Jakarta Pusat mencapai 413 orang, di Jakarta Utara sebanyak 324 orang, di Jakarta Timur sebanyak 855 orang. Pengidap psikotik ini dijaring di jalan-jalan dan pemukiman penduduk. Mereka umumnya berasal dari luar Jakarta yang datang ke Ibukota dengan tujuan mencari pekerjaan.
Sayangnya, kedatangan mereka ke Jakarta ternyata tidak dibekali dengan kemampuan yang memadai sehingga mereka gagal mencari pekerjaan dan akhirnya terlantar di Jakarta. Kota-kota besardi negara manapun di dunia ini selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi para kaum pendatang, sama halnya dengan Kota Jakarta.
Para pendatang yang bertujuan mengadu nasib di Jakarta, nyatanya semakin menambah beban pemerintah kota Jakarta dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan. Hal ini mengingat laju pertumbuhan angkatan kerja di Ibukota melampaui laju pertumbuhan kesempatan kerja, yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di Kota Jakarta.
Menurut sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kota Jakarta mencapai lebih dari 9,7 juta jiwa. Tingginya pergerakan penduduk dari Kota Jakarta ke kota-kota satelit, yaitu wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek) telah membawa konsekuensi terhadap laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut.
Jika pada tahun 1961 jumlah penduduk Botabek hanya mencapai 2,74 juta jiwa, maka pada tahun 2000 mencapai lebih dari 13 juta jiwa. Dan bila ditambah dengan penduduk Kota Jakarta, mencapai lebih dari 23 juta jiwa. Lihat tabel 1.
Tabel 1: Perkembangan Penduduk DKI Jakarta dan Botabek dalam Sensus Penduduk (SP) 1961 - 2000
Kepadatan penduduk DKI Jakarta pada tahun 2000 mencapai lebih dari 14 ribu jiwa per kilometer persegi. Dari lima kotamadya di DKI Jakarta, Jakarta Pusat merupakan wilayah kotamadya yang paling padat penduduknya, kemudian diikuti oleh Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan.
Jumlah penduduk yang semakin bertambah ini ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang ada bagi para pencari kerja. Batasan usia bagi pencari kerja menurut Konvensi International Labour Organization(ILO) adalah mereka yang berusia di atas 15 tahun ke atas.
Tabel 2: Kegiatan Utama Penduduk Berumur 15 tahun ke atas tahun 1997 – 2001 (ribu orang)
Jika pada tahun 1997 jumlah orang yang bekerja mencapai 3,22 juta orang, maka pada tahun 1998 turun menjadi 3,14 juta orang. Namun dengan dimulainya kegiatan ekonomi, maka sejak tahun 1999 jumlah orang yang bekerja terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001, jumlah orang yang bekerja telah mencapai 3,4 juta orang. Di sisi lain, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk serta keadaan ekonomi nasional yang belum sepenuhnya pulih benar, maka jumlah pencari kerja yang dikategorikan sebagai pengangguran terbuka, juga mengalami peningkatan, yaitu dari 395,7 ribu orang pada tahun 1997 menjadi 440,7 ribu orang pada tahun 2001. Lihat tabel 2.
Sesungguhnya kita harus melihat faktor utama mengapa begitu banyak pendatang yang mengadu nasibnya ke Jakarta. Ada dua faktor utama, pertama, faktor internal, yaitu dari sisi pendatang itu sendiri. Hal ini diakibatkan karena keterbatasan intelektual dan akses yang dimilikinya. Karena keterbatasan inilah, sangat mungkin informasi yang didapatkan sang pendatang mengenai Kota Jakarta ternyata kurang lengkap diterima, keliru atau dapat juga karena salah dimengerti.
Pemahaman yang salah kaprah ini mengakibatkan para pendatang yang akhirnya sampai di Jakarta tidak dapat berbuat banyak karena kurangnya keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan faktor eksternal, ialah dengan melihat kondisi daerah asal sang pendatang. Kurang atau tidak tersedianya lapangan pekerjaan, yang dapat disebabkan oleh banyak hal, menyebabkan mereka menjadi tersingkir, sehingga harus pergi dari daerah asalnya untuk mengadu nasib ke kota lain.
Pemecahan atas masalah ketenagakerjaan di wilayah Jakarta ini harus melibatkan berbagai pihak, baik pusat maupun daerah-daerah, serta adanya good will dari para pemimpin di negeri ini. Membuat aturan dengan menutup Kota Jakarta dapat saja dilakukan bagi pendatang, yang mungkin dapat sedikit mengurangi permasalahan yang ada mengenai ketersediaan tenaga kerja di Jakarta. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah menyelesaikan masalah itu sendiri secara menyeluruh.
Pendatang yang tidak dapat mengadu nasib ke kota lain akan menjadi beban bagi daerah yang bersangkutan. Mereka yang semakin tersingkir, dapat dipastikan akan menimbulkan ekses yang jauh lebih rumit bagi masyarakat setempat yaitu tindak kriminal akan meningkat tajam. Ketimpangan ketersediaan jumlah tenaga kerja di Jakarta dan daerah lain sesungguhnya disebabkan oleh kebijakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini tidak merata. Hal ini mengakibatkan pusat-pusat pertumbuhan dan ekonomi hanya terpusat pada wilayah-wilayah kota besar saja, seperti Jakarta dan kota sekitarnya.
Dengan diberlakukannya otonomi derah, masalah pengangguran dan ketenakerjaan dinilai bukan lagi milik pemerintah pusat. Daerah, sebagai pemilik kekuasaan otonom yang diberikan pemerintah pusat, seharusnya mempunyai data lebih akurat tentang bertambah atau berkurangnya jumlah pengangguran.
Pemerintah daerah setempat seharusnya mempunyai data tentang permasalahan pengangguran dan ketenagakerjaan di wilayahnya. Untuk Kota Jakarta, program dan kebijakan ketenagakerjaan sebaiknya diarahkan pada perluasan kesempatan kerja, terutama pada bidang yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Untuk itu bidang-bidang usaha yang mampu menyerap banyak tenaga kerja seharusnya diberi kemudahan dan insentif oleh Pemerintah Kota Jakarta. Bidang usaha yang menyerap banyak tenaga kerja sejak awal harus teridentifikasi dan menjadi pokok kebijakan bagi Pemerintah Kota Jakarta.
Menurut data statistik, lapangan kerja yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Jakarta meliputi lapangan kerja di bidang industri, jasa dan perdagangan.
Namun upaya perluasan kesempatan kerja juga selayaknya diupayakan melalui kebijakan pemerintah yang memudahkan pembukaan peluang usaha bagi terciptanya lapangan kerja industri rumah tangga maupun industri kecil lainnya. Termasuk di dalamnya, pembukaan lapangan kerja informal, yang banyak dimasuki tenaga kerja dengan kategori "untrained labour".
Membuka peluang terciptanya lapangan kerja di bidang informal sesungguhnya dapat dijadikan katup pengaman untuk memperkecil tingkat pengangguran di ibukota, apalagi di saat masih sulitnya investor-investor, baik dari dalam maupun luar negeri menanamkan modalnya di negeri ini. Selanjutnya yang paling penting, Pemerintah Kota Jakarta harus mampu mengubah persepsi masyarakat, terutama di kantong-kantong kaum pendatang, bahwa Kota Jakarta bukanlah tempat yang tepat untuk mencari lapangan pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan dan keahlian yang memadai.
Langkah awal dapat dilakukan dengan mendata kantong-kantong utama yang menjadi pemasok pencari kerja ke Jakarta. Kemudian dilakukan sosialisasi dan diseminasi dengan melakukan tindakan proaktif, baik sosialiasi dan diseminasi melalui media massa ataupun bekerjasama dengan Pemda-pemda setempat.
Pada akhirnya, komitmen dan koordinasi semua pihak sangat diperlukan untuk mengatasi masalah para pencari kerja di Kota Jakarta yang berasal dari daerah. Semoga saja.
* Pernah dimuat di Harian Jakarta - Selasa, 15 Juni 2004
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.