PEJABAT NEGARA DAN FENOMENA 'BAJING LONCAT' Oleh: Sonny Wibisono *
Dalam pernyataan di kantor KPU 12 Mei lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri menyindir tindakan sejumlah menteri yang mengundurkan diri karena sibuk dengan pencalonan mereka dalam pemilihan presiden/ wapres. Megawati menyebut tindakan mereka itu sebagai 'politik bajing loncat'.
Kecaman dan juga kegundahan yang dilontarkan Presiden itu mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, majunya sejumlah menteri ke bursa calon presiden/calon wapres tentu saja menambah persaingan Megawati menuju kursi kepresidenan. Kedua, mundurnya mereka tentu saja membuat kinerja Kabinet Gotong Royong yang dipimpinnya menjadi terganggu.
Kabinet Gotong Royong telah kehilangan tiga menteri karena mereka mencalonkan diri sebagai presiden/wapres. Mereka adalah Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Kesra Jusuf Kalla yang mundur dan kemudian menjadi pasangan capres/cawapres.
Lalu diikuti oleh Menhub Agum Gumelar yang juga mundur dan memilih menjadi cawapres untuk mendampingi capres Hamzah Haz yang kini masih menjabat sebagai wapres. Kedua Menko yang mengundurkan diri itu nyatanya memang hanya digantikan oleh pejabat ad interim. Menko Polkam dirang-kap Mendagri, sedangkan Menko Kesra dirangkap Mendiknas.
Mundurnya sejumlah menteri itu dinilai sebagai realitas demokrasi yang harus diterima. Suatu konsekuensi logis dari sesuatu yang bernama kabinet pelangi.
Dari sisi teori politik dan juga undang-undang yang berlaku saat ini., pengunduran diri ini sah dan benar. Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2004 mengenai kampanye pemilu oleh pejabat negara, menteri yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon presiden dan calon wapres dinyatakan non-aktif sebagai menteri.
Status non-aktif itu lebih lanjut ditetapkan dengan Keppres. Dalam keadaan demikian, Megawati tetap harus menjalankan roda pemerintahan sekarang hingga pemerintahan yang baru terbentuk nanti. Strategi yang dihadapi Megawati pun bertambah, selain harus memasang jurus jitu agar tidak dikalahkan oleh 'bekas' bawahannya dalam pemilihan presiden, juga harus memperhatikan kinerja kabinetnya agar tidak kedodoran.
Mundurnya sejumlah menteri itu bukan hanya dipertanyakan oleh sang atasan sendiri, tapi juga oleh berbagai kalangan publik. Jika para menteri tersebut menggunakan haknya dalam berdemokrasi, lantas bagaimana dengan hak rakyat yang menuntut pengabdian mereka sebagai pejabat negara yang telah diangkat presiden?
Tujuan utama mundurnya sejumlah menteri itu sudah jelas mendapatkan posisi terhormat sebagai presiden dan wapres. Hal ini berakibat risiko pelayanan publik akan akan terabaikan.
Masalah menjadi lebih ketika hal ini juga melibatkan pejabat negara lainnya-yaitu menteri, kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten dan kota
serta pegawai negeri sipil-yang ikut menjadi tim sukses calon presiden dan calon wapres tertentu. Dan sebagai konsekuensinya, mereka pun harus mengundurkan diri atau non-aktif dari jabatan yang mereka emban saat ini.
Dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dijelaskan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat 1). Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat negara termasuk di antaranya adalah mnteri dan gubernur (Pasal 2). Dalam UU tersebut bukan hanya dijelaskan hak dan tanggung jawab seorang pejabat negara tetapi juga peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih.
Salah satu di antaranya adalah masyarakat berhak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara. Pejabat negara, yang merupakan pelayan publik bagi masyarakat seharusnya memang lebih mengedepankan etika, moral, dan tanggung jawab dalam kehidupan bernegara daripada hanya sekadar melakukan kegiatan praktis.
Dalam menjalankan roda Kabinet Gotong Royong, harus ada antisipasi agar jalannya pemerintahan dalam setengah tahun ke depan dapat tetap terlaksana secara efektif. Misalnya harus dibuat kesepakatan internal dalam Kabinet Gotong Royong itu sendiri. Idealnya memang kesepakatan tersebut dibuat sebelum dimulainya masa kampanye sebagai jaminan bahwa fungsi pemerintahan dan pelayanan masyarakat tetap bisa berjalan meskipun para pejabat negara terlibat dalam pemilu presiden/wapres mendatang.
Untuk para pejabat, termasuk menteri sekali pun, yang ikut terlibat dalam tim sukses capres/cawapres harus mengambil cuti dan non-aktif. Para menteri tersebut menyerahkan wewenang dan tanggung jawab mereka untuk sementara kepada pejabat/pihak terkait yang ditunjuk, sampai batas waktu yang ditentukan peraturan yang berlaku.
Mengingat sistem yang kita anut saat ini adalah sistem presidensial dengan kabinet pelangi, maka mundurnya sejumlah pejabat negara ini diramalkan akan mendorong 'perpecahan' dalam kabinet bila setiap pemilu tiba. Masalah yang terjadi dalam Kabinet Gotong Royong sekarang merupakan pembelajaran politik dalam masa berdemokrasi dan pengalaman yang sangat berharga.
Pemerintahan baru yang akan terbentuk nanti harus benar-benar mengatur soal ini dengan lebih seksama. Harus ada mekanisme yang jelas dalam pengaturannya. Sebagai contoh, misalnya, pengunduran diri tersebut harus dilakukan satu tahun sebelumnya.
Bagaimanapun kepentingan rakyat harus diutamakan ketimbang kepentingan kelompok atau partai. Dan pada akhirnya, rakyat lebih berhak mendapat pelayanan melalui mesin birokrasi. Pengingkaran terhadap hak-hak rakyat adalah suatu kesalahan besar.
* Pernah dimuat di Bisnis Indonesia - Selasa dan Rabu, 25-26 Mei 2004
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.