Tebar pesona. Dua kata yang menjadi satu kesatuan akhir-akhir ini akrab di telinga kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun mungkin kita belum menemukan kosa kata ini. Istilah yang lahir dari generasi pun kini, diperkenalkan oleh para muda-mudi, yang dikonotasikan sebagai suatu sikap atau tindakan dalam mencoba menarik hati lawan jenis.
Aneka tebar pesona yang dilakukan kaum ABG tersebut pun beragam, mulai dari sekadar melirik, memakai pakaian yang yang telihat aduhai, mengirim bunga, imel, chatting, hingga cukup dengan SMS (yang isinya biasanya tak lebih dari sekedar rayuan gombal).
Para kandidat presiden sekarangpun tak mau kalah menebar pesona dalam merebut hati para konstituen mereka, walau mungkin caranya tentu saja berbeda. Berbagai cara dilakukan para capres, tidak tanggung-tanggung, mereka menyambangi tempat-tempat yang dulunya mungkin hanya dilakukan oleh pejabat selevel menteri. Pasar rakyat, terminal bis, kampung nelayan, kereta kelas ekonomi, dan tempat-tempat keramaian lainnya yang sudah pasti dalam antrian jadual mereka untuk dikunjungi.
Mereka sadar betul, bahwa jalan untuk mengenal (calon) konstituen mereka adalah dengan terjun langsung ke lapisan bawah (grass root). Tidak cukup hanya dengan iklan di tv dengan latar gadis-gadis cantik ataupun memasang baliho seukuran seperempat lapangan bola di perempatan jalan.
Dalam waktu satu bulan ke depan ini hingga akhir Juni, sampai batas waktu terakhir kampanye capres, kita masih akan mendengar, membaca, dan melihat langsung kiprah para capres dalam melakukan tebar pesona.
Sesungguhnya yang dilakukan para capres tersebut sah dan benar sepanjang tidak melanggar Undang-undang No. 23 tentang Pemilihan Presiden soal tempat kampanye. Yang diharamkan dikunjungi para kandidat dalam ajang kampanye mereka hanyalahtempat yang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.
Pemilihan presiden secara langsung yang baru pertama kali diadakan di negeri ini, tentu saja menimbulkan berbagai ekses yang juga belum pernah dijumpai sebelumnya. Para kandidat beserta tim sukses mereka, bukan hanya pusing memikirkan bagaimana visi dan misi mereka yang akan disampaikan dalam kampanye capres ataupun debat terbuka, tetapi juga bagaimana memikirkan jurus jitu secara instant merebut hati para konstituen. Hal ini justeru menjadi bagian yang penting, mengingat ujung-ujungnya adalah mendapatkan suara sebanyak mungkin dalam pemilihan nanti.
Di Amerika Serikat seorang calon presiden dalam melakukan tebar pesona pada kampanye pemilihan presiden di tiga belas negara bagian, sehingga masyarakat sana dapat mengenali calon presidennya. Bila ingin fair, di Indonesia seharusnya dilakukan hal yang sama. Dan bila hal ini dilakukan, maka masing-masing kandidat akan di kawal secara resmi dari Polri dengan kekuatan 51 personel, dengan rincian 21 orang melakukan pengawalan di kediaman dan 30 orang menempel ketat Capres dan Cawapres, sehingga tenaga personel yang dibutuhkan mencapai 709 personel.
Itu mungkin belum ditambah dengan ajudan khusus, pengawal pribadi, atau bahkan tim kesehatan yang harus mendampingi. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana riuh rendahnya bila seorang capres harus masuk pasar. Belum lagi soal hitungan dana yang nantinya akan dikeluarkan untuk membiayai acara tebar pesona ini.
Dalam melakukan tebar pesona, para capres bukan saja harus murah senyum, bersedia disalami banyak orang, menjawab berbagai pertanyaan, tetapi juga harus siap dengan strategi dan taktik dalam melakukan tebar pesona itu sendiri. Dalam hal ini, peran tim sukses capres menjadi begitu penting. Bukan hanya harus kreatif, tetapi mereka harus tahu isu kebutuhan daerah setempat dengan “berpikir lokal dan bertindak global”.
Isu lokal menjadi bagian penting dalam materi kampanye di daerah-daerah. Para capres tentunya tak lupa untuk melemparkan janji-janji mereka bila nanti terpilih sebagai presiden. Janji-janji yang dilempar dalam kampanye sesungguhnya berdampak luas pada publik.
Lihat saja pada pemilu tahun 1999 yang dinilai demokratis, justru berdampak negatif terhadap antusiasme masyarakat, karena janji-janji muluk parpol kala itu banyak yang tidak terbukti. Hal ini bisa dilihat dari nasib wong cilik yang ternyata tidak membawa perubahan berarti, seperti pengangguran yang meningkat ataupun korupsi yang makin merajalela.
Memang tidak ada mekanisme hukum yang pasti dalam menagih janji para parpol, caleg, dan capres pemenang pemilu. Kampanye dengan melakukan tebar pesona ini pada hakikatnya adalah sebuah kesaksian tentang kualitas kepemimpinan. Dan janji adalah utang, yang merupakan starting pointketika parpol, calon legislatif (caleg) atau calon presiden (capres) berani menjanjikan dan menjangkau kesadaran politik dan kewarganegaraan masyarakat. Dengan kata lain, sikap, janji dan tindakan seorang calon pemimpin harus menjadi ekspresi moralitas. Para kandidat pasti menyadari, bahwa pemilihan kali ini berbeda dengan sebelumnya, dan akan berdampak luas bagi masyarakat.
Dalam acara tebar pesona ini, seharusnya baik para kandidat dan masyarakat dapat mengambil manfaat secara simbioasa mutualisme, saling menguntungkan. Bagi capres, kegiatan ini untuk melihat kondisi riil di lapangan, bagaimana sesungguhnya masalah yang dihadapi oleh wong cilik. Para kandidat sedikit banyak akan mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Selama ini para capres mendapatkan laporan dari belakang meja saja, sesuatu yang sangat berbeda sekali ketika mereka harus terjun langsung ke grass root.
Menjadi pelajaran berharga, ketika nanti para capres tersebut berkuasa, mereka mungkin tidak akan kaget lagi bila harus disuguhi laporan yang benar-benar riil, bukan hanya Asal Bapak/Ibu Senang. Para caprespun seharusnya dapat memberikan pelajaran politik, dengan menyuguhkan visi-misi dan program kerja mereka ke depan yang berkualitas dan mendidik.
Bagi masyarakat, kesempatan ini sebaiknya dimanfaatkan untuk menyuguhkan persoalan yang sesungguhnya dihadapi oleh masyarakat, misal bagaimana agar minyak tanah tidak harus lagi langka di pasar, atau kalaupun ada, harganya bakal mencekik leher.
Masyarakatpun akan dapat menilai sendiri kualitas dan karakter para capres, dengan melihat visi-misi serta program kerja yang mereka sampaikan, serta bagaimana mereka menguasai persoalan yang diajukan secara langsung oleh masyarakat. Tetapi percayalah, bahwa saat ini masyarakat tidak akan dengan gampangnya terpesona oleh senyuman ataupun janji-janji muluk para kandidat dalam acara tebar pesona ini.
Pengalaman pemilu 1999 lalu tentu masih membekas di hati masyarakat, dimana antara janji dan kenyataan pada akhirnya bagaipanggang jauh dari api.
Semoga saja semua dapat memetik pelajaran, dan tidak mendaur ulang kesalahan yang sama.
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.