Ibu muda itu masih terus memandangi saya dari dekat. Risih juga lama-lama kalau dilihat orang seperti itu. Karena tak tahan, akhirnya saya hampiri ibu muda tersebut. ”Ya bu, ada apa ya?” tanya saya. Ibu itu sedikit kaget karena tahu-tahu ditanya. “Eh, gak apa-apa kok. Cuma mau lihat sampeyan punya hidung.” ”Hidung?” tanya saya keheranan. ”Iya, hidung bapak bagus sekali. Mancung bangir. Indah sekali.” Aarrgghhh....
Semenjak kejadian di Pacific Place sebulan yang lalu, saya sebenarnya sudah tak ambil pusing lagi oleh pujian ibu muda tersebut. Saya bertemu kolega saya saat makan siang. Pada saat menyantap Dim Sum di Urban Kitchen itulah sang ibu menatap saya terus menerus. Saya sebenarnya juga sangsi, itu pujian atau malah ledekan. Bagi saya gak jelas. Dikatakan bahwa saya mempunyai hidung lain dari yang lain. Berbeda seperti kebanyakan hidung orang Indonesia. Lagipula katanya, hidung orang Asia umumnya memang tidak mancung. Beruntunglah saya pujinya. Hahh, emang gue pikirin...
Tapi dua hari setelah kejadian di Pacific Place tersebut, kejadian tak terduga berikutnya muncul lagi. Seperti biasa, sepulang kerja, saya menuju rumah orang tua di Pulo Asem untuk mengambil surat-surat yang ditujukan disana. Biasanya akhir bulan saya kesana, sekaligus mampir menemui orangtua dan menanyakan kabar lainnya. Beberapa korespondensi memang masih memakai alamat sana. Dan itu berarti saya harus lewat jalan tol untuk menghindari macet.
Mendekati pintu tol Pancoran, saya menyiapkan uang sepuluh ribu rupiah. Sambil mendengarkan alunan musik D’Masive, ’Di Antara Kalian’, saya menunggu uang kembalian. Tapi, kok ada yang aneh, pikir saya. Ah, ya. Kenapa lama sekali uang kembalian diberikan.
Klakson pertama mobil di belakang pun berbunyi. Menyusul klakson dari mobil lainnya. Memekakkan telinga. Huhh, benar-benar mengganggu kenikmatan saya mendengarkan musik. Sambil mencoba tetap tersenyum, saya tanyakan ke petugas pintu tol, seorang wanita muda. Di papan nama sebelah kanan gardu terbaca namanya: ’Veronica Masayu’. ”Gak ada uang kembalian?” tanya saya. ”Ada sih pak.” ”Loh, kok lama betul?” komplain saya. ”Saya cuma mau melihat lebih lama hidung bapak yang mancung. Boleh kan?” Pretttt...........
Tanpa menunggu uang kembalian diserahkan, saya langsung mengoper persneling ke gigi satu mobil Avanza saya. Segera ngeloyor pergi. Masih terdengar teriakan wanita petugas tol tadi samar-samar. ”Pak, uang kembaliannya...” Ambil tuh uang kembalian, batin saya. Grrhhh. Entah mimpi apa saya semalam.
Ternyata kejadian tersebut bukan yang terakhir. Semenjak itu, hampir setiap orang yang bertemu dengan saya memuji hidung ini. Ada yang mengatakan hidung saya lebih seksi dari hidungnya Asmirandah. Halah. Lainnya bilang kalau hidung saya lebih menggairahkan ketimbang hidungnya Angelina Jolie. Halah lagi. Dan, ada pula yang bilang, hidung saya lebih memesona dari hidungnya Tom Hanks. Ah, kalau ini sih lebay banget. Tapi nyatanya, tak cuma para orang dewasa, sampai-sampai anak muda pun mengatakan begitu.
Akhirnya saya ceritakan hal ini ke pacar saya, Leli. Leli Lakiran nama lengkapnya. Dia malah tertawa dan mengatakan bahwa hidung saya biasa-biasanya saja. ”Jangan kege-eran kayak gitu. Plis deh ah.” katanya sambil menyibakkan sebagian rambut panjangnya yang tergerai sedikit menutup wajahnya. Bukannya senang pacarnya dipuja-puji, ini malah diledek. Saya berpikir mungkin ia cemburu. Hanya malu hati saja mengatakannya. Hmm, atau malah ia takut membenarkan, yang berbuntut takut kehilangan saya? Karena bisa jadi takut kecantol wanita lain. Weleh, ini sih benar-benar ge-er dotcom namanya.
“Udah deh, gak usah dipikirin kamu punya hidung kayak gitu.” begitu ujarnya.
“Lo, kenapa? Kalau cuma satu orang yang ngomong sih, sa bodo teuing. Tapi ini kan banyak orang yang ngomong.”
“Lo, kalau yang ngomong banyak, emang kenapa, ngefek emang?”
Saya benar-benar tak mau mendebat lagi urusan ini. Wanita lebih mengandalkan pikiran emosional ketimbang pikiran rasional. Kalau dia tak mau memuji, ya tak masalah. Toh ia masih pacar saya statusnya. Tapi bagi saya, kalau memang ada sesuatu yang layak dipuji, saya tak sungkan-sungkan untuk memuji. Apapun.
Di awal saya berkenalan dengan Leli, kala itu saya memuji habis rambut panjang ikalnya yang indah. Setidaknya pula saya mempunyai waktu yang lebih lama untuk membelai rambutnya. Ujar saya mencoba berpuitis. Ah, prikitiw katanya. Dan saya ingat betul, dia pun mengatakan bahwa saya mempunyai hidung yang bagus. Kami bahkan sempat membahasnya, bahwa itu merupakan kombinasi yang dahsyat bila kelak kami menikah dan mempunyai anak. Ikal dan mancung. Wow, dahsyat.
Saya tak mau mengungkit lagi kejadian itu. Saat dimana dia pernah memuji hidung saya. Takut malah menyinggung perasaannya. Saya pun terngiang akan kisah kasih kami dulu. Perkenalan kami terjadi secara tak sengaja. Awal Januari 2008. Waktu itu saya mendapat tugas ke Kantor Pajak Pratama di Kalibata. Untuk mengurus beberapa dokumen SPT atasan. Disana kami bertemu. Leli sedang mengurus pajak tahunan perusahaannya. Dalam proses menunggu antrian, kebetulan ia duduk sebelah saya. Eh, atau saya duduk disebelahnya. Sama saja atuh. Percakapan pun tak terhindarkan. Dari obrolan, jelas bahwa Leli seorang akuntan di kantornya.
Besoknya kami ternyata bertemu kembali. Karena ada kekurangan dokumen yang harus dilengkapi. ”Eh Leli, ketemu lagi.” ”Eh Sonca, apa kabar?” ”Kabar baik. Kesini lagi rupanya.” saya sedikit berbasa-basi. ”Iya, ada dokumen yang harus dilampirkan.” ”Walah, sama donk, kok kita bisa sehati ya.” ah, sebenarnya saya mengucapkan kalimat demikian main asal ceplos saja. Tapi kemudian saya melihat wajah Leli yang putih merah merona. ”Iya kali ya,” katanya sambil sedikit tersenyum.
Saya mengatakan bahwa kalau ada sesuatu nantinya yang kurang jelas, entah sekarang entah kapan-kapan, saya ingin bertanya kepada Leli. Dia tak keberatan memberikan nomor telepon selularnya. Padahal itu sih alasan saya saja untuk bisa mengenalnya lebih dekat.
Setelah sering melakukan kontak melalui telepon, saya mencoba mengajaknya makan siang. Dia tak menolak. Akhirnya semenjak itulah kami semakin akrab dan kemudian menjalin kasih sampai saat ini. Bagi saya Leli adalah bidadari yang diciptakan olehNya untuk saya. Cantik wajahnya. Putih bersih kulitnya (porselen kali), mungkin karena ia keturunan Minang yang memang kebanyakan berkulit putih. Dan ini, rambutnya begitu indah, panjang ikal tergerai hingga ke bahu. Uhuy.
*****
Hidung saya tetap menjadi bahan pembicaraan. Di kantor sami mawon pada bae. Teman-teman kantor saling berbisik. Bergosip ria. Cekakak-cekikikan membicarakan hidung saya. Di kantor akhirnya saya mendapat julukan, ‘Si Hidung Mancung’. Setiap kali rekan kantor berpapasan atau bertemu saya, hidung saya dululah yang pertama kali ditatap.
Setiap kali sebelum meeting kantor dimulai, semua mata tertuju pada satu titik: hidung saya. Sebelum pulang pun, rekan-rekan kantor saya bisa-bisanya menyempatkan diri dulu untuk menatap hidung saya.
Di luar kantor ternyata sama gaduhnya. Setiap orang membicarakan hidung saya. Setiba dikantor ketika saya turun dari mobil, satpam rumah dinas seorang kedubes di depan kantor selalu menyapa saya, ”Hallo, Si Hidung Mancung.”
Di mall, di pasar, di jalan, dimana saja, semua sama. Mereka semua memperhatikan hidung saya. Sapaan, ”Hallo, Si Hidung Mancung” benar-benar akrab di telinga saya.
”Hai si hidung mancung” teriak gerombolan ABG berseragam sekolah putih-biru memanggil ketika saya berjalan menuju anjungan tunai mandiri. Saya tak menggubrisnya. Tapi ketika mereka mengikuti saya ketika hendak masuk ke ruang atm, ini lain soal. Mereka benar-benar sudah mengganggu.
”Kenapa kalian mengikuti saya? Kurang kerjaan apa..”
Mereka cekikikan. ”Aih somse deh Masnya. Mosok gak boleh sih ngeliatin hidung mancung Mas.”
*****
Hari-hari berikutnya membuat saya sudah tak bisa lagi menahan kejengkelan. Mereka semua sudah mengganggu privasi saya. Saya benar-benar merasa tidak nyaman. Apakah tak ada hal lainnya yang lebih penting dalam hidup ini kecuali membicarakan hidung mancung saya?
Hidup ini tiba-tiba terasa aneh bagi saya. Hendak berteriak, tapi tak mampu. Hendak menangis, nanti dikira cengeng pula karena saya seorang laki-laki. Dan kegilaan hidup makin menjadi-jadi ketika seorang yang mengaku perwakilan dari Kelurahan datang ke rumah saya. Ia mengantarkan surat pengantar yang sudah disetujui oleh Ketua RT dan RW bahwa KTP saya yang baru nantinya akan dibubuhi dibelakangnya dengan SHM, Si Hidung Mancung.
”Ya amplop. Gile bener..”.
Bagi saya, seperti mengutip Kak Rhoma, ini sudah: TER-LA-LU. Nama merupakan pemberian dari orang tua. Dan sudah tentu mempunyai makna sesuai dengan harapan orangtua saya. Saya menolaknya dengan halus. Dan mengucapkan terimakasih telah mau repot membuatnya. Walau dalam hati dongkol-kol-kol banget. Tapi dia mengatakan bahwa ini amanah dari atasan. Lah, amanah. Atasan yang mana pula. Katanya sudah tak bisa diubah lagi. Percuma juga donk saya menolaknya. Saya tak bisa membayangkan di KTP saya nanti tertulis: Sonca Mat Damon, SHM. Widihhh..
Esok harinya, ketika saya tanyakan ke orangtua saya, hal ini dianggap tak lebih sebagai suatu penghinaan. Nama adalah sakral ujar ayah. Tak bisa diganggu gugat. Titik. Sementara ibu hanya bisa diam melihat ayah marah-marah.
Keributan dirumah saya di Duren Sawit serta berita mengenai kedatangan orang Kelurahan akhirnya merebak ke luar. Pada awalnya, hanya segelintir orang di sekitar rumah yang datang berkunjung ke rumah. Untuk melihat pesona Si Hidung Mancung, begitu ujar salah satu warga setempat di RW sebelah. Haiyyaa..
Dan kemudian, telepon seluler saya tak henti-hentinya berdering. Setelah sebelumnya telepon rumah saya berbunyi terus walau malam hari sekalipun, yang membuat saya terpaksa memutus kabel sambungan telepon. Nyatanya, mereka tahu pula nomor ponsel saya. Saya tak bisa mematikannya, karena saya sangat mengandalkan ponsel dalam berkomunikasi untuk urusan kantor dan pekerjaan.
Melalui telepon, mereka bertanya macam-macam kepada saya. Tak cuma pertanyaan. Ada yang mengajak berkenalan. Ada yang meminta tanda tangan (padahal jelas-jelas bukan seleb gitu loh). Ada yang meminta foto bersama. Dan ada juga sebuah perusahaan yang mengajak makan siang bersama dengan para karyawannya. Informasi sensasional ini akhirnya sampai juga ketelinga media cetak dan elektronik.
Saban hari saya ditelpon untuk dimintai wawancara mengenai hidung mancung saya. Wartawan TV pun demikian. Saya tak bisa menghindar. Kemana saja saya pergi, disana saya dibuntuti wartawan. Baru tahu saya, begini toh rasanya dibuntuti paparazzi. Wajah saya akhirnya menghiasi media cetak dan elektronik. Mengalahkan kasus skandal bail-out bank negeri ini. Menenggelamkan isu gosip kehidupan mantan diva yang baru saja bercerai. Suatu hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Oh my God!
Tak tahan dengan kegilaan ini, akhirnya saya memutuskan untuk sementara ini tinggal di rumah orang tua saya di Pulo Asem. Dengan maksud cooling down dahulu. Taelah, cooling down, es batu kali. Saya katakan hal ini kepada Leli. Ia tak mempermasalahkan.
Akhirnya saya tinggal di rumah orang tua saya di Pulo Asem. Tapi esok pagi harinya ketika hendak berangkat kerja, kerumunan orang telah berdiri di muka pagar rumah. Berbagai poster dengan segala ukuran mereka bentangkan. Isinya macam-macam. Salah satu yang mencolok tertulis: “KAMI TURUT PRIHATIN DAN MENYESAL DENGAN TERGANGGUNYA KEHIDUPAN ANDA, WAHAI SI HIDUNG MANCUNG!”
Saya mencoba mencubit tangan saya. Aw, aw, aw, sakit ternyata. Ini bukan mimpi. Ayah hanya terbengong melihat begitu banyak orang di halaman depan. Ibu melihat fenomena ini, akhirnya lebih memilih mengurung di kamar, tak tahu harus bagaimana.
Saya bergegas kembali ke dalam rumah. Lalu segera menelepon Leli. Saya ceritakan sekilas dan saya tanyakan apakah ini karena ulahnya. Leli kaget bukan main. Saya tak berdebat lagi. Saya percaya Leli tak tahu menahu soal ini. Saya memintanya untuk segera datang dan membantu saya. Kalau perlu meminta bantuan orang lain untuk mengatasi hal ini. Ia menyanggupi. Tak lebih dari satu jam ia telah datang. Dengan taksi. Karena memang kantornya ke arah Pulo Asem tak terlalu jauh. Leli menyeruak masuk. ”Semuanya minggir! Semuanya minggir! Beri saya jalan!” teriak Leli persis mengikuti gaya iklan permen di televisi. Tapi, oh, ia tak sendiri. Dengan seorang wanita. Lamat-lamat saya memperhatikannya, sepertinya saya pernah melihatnya sebelum ini. Dimana ya. Oh ya, wanita penjaga tol di Pintu Tol Pancoran!
“Apa yang telah terjadi wahai Si Hidung Mancung?” ujar Veronica Masayu dengan tatapan penuh keheranan.
Ibu muda itu masih terus memandangi saya dari dekat. Risih juga lama-lama kalau dilihat orang seperti itu. Karena tak tahan, akhirnya saya hampiri ibu muda tersebut. ”Ya bu, ada apa ya?” tanya saya. Ibu itu sedikit kaget karena tahu-tahu ditanya. “Eh, gak apa-apa kok. Cuma mau lihat sampeyan punya hidung.” ”Hidung?” tanya saya keheranan. ”Iya, hidung bapak bagus sekali. Mancung bangir. Indah sekali.” Aarrgghhh....