Message of Monday – Senin, 10 Mei 2021 Ayo, Jangan Mudik! Oleh: Sonny Wibisono *
“Jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, maju bareng, nglawan corona ben klenger. Neng ngomah wae, di rumah saja, bersama-sama, ayo lawan corona.” -- Didi Kempot dalam ‘Ojo Mudik’
Pemerintah memutuskan melarang mudik lebaran tahun ini secara resmi. Larangan ini berlaku tanggal 6-17 Mei 2021. Larangan mudik Lebaran tercantum dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah. Dalam surat edaran tersebut, Pemerintah secara tegas melarang masyarakat melakukan kegiatan mudik Lebaran pada tahun ini, demi mencegah penularan virus corona dan juga peningkatan kasus Covid-19.
Larangan tersebut berlaku untuk semua moda transportasi, baik darat, udara, maupun laut. Fasilitas dan perangkat pun disiapkan untuk mendukung kebijakan ini. Aparat dan petugas terkait berjaga di berbagai pos penyekatan. Tentu saja aturan ini dikecualikan bagi mereka yang bepergian dalam kondisi tertentu.
Dapat dipahami mengapa Pemerintah melarang masyarakat mudik untuk tahun ini dengan mewanti-wanti jauh hari sebelumnya dan dengan persiapan yang relatif lebih baik dari tahun sebelumnya. Selain untuk mencegah penularan covid makin meluas, kita juga tak ingin terjadi gelombang kedua covid seperti yang terjadi di India. Apalagi, virus ini telah bermutasi dengan berbagai varian baru yang lebih berbahaya.
Apa yang terjadi di India diibaratkan tsunami covid, sangat gawat. Dalam kurun waktu 24 jam terakhir, negara di Asia Selatan itu mencatatkan lebih dari empat ratus ribu kasus dan hampir empat ribu kematian harian, suatu rekor tertinggi di dunia. Dan angka tersebut masih terus akan naik. Hal ini terjadi karena India lengah dan abai terhadap prokes. Kita semua tak ingin hal itu terjadi di negara tercinta ini.
Walau Pemerintah telah melarang, mengapa masih saja banyak pemudik yang nekat berusaha pulang ke kampung halaman? Banyak masyarakat yang berusaha keras untuk mudik dengan berbagai cara dan mencari celah agar bisa sampai ke kampung halaman.
Mudik merupakan tradisi yang telah membudaya di negeri ini saban tahun. Sebenarnya pulang ke kampung halaman alias mudik bisa dilakukan kapan saja. Tetapi menjadi istimewa bila dilakukan saat lebaran. Bertemu dengan orangtua, saudara, dan handai taulan secara waktu bersamaan merupakan momen yang ditunggu-tunggu. Inilah alasan utama mengapa mereka bersikeras untuk mudik.
Selain itu, banyak dari masyarakat yang masih terjebak dengan pola pikir optimism bias. Apa itu optimism bias? Satu kecenderungan berpikir bahwa kejadian yang buruk kemungkinannya kecil terjadi pada diri sendiri, sedangkan kejadian baik atau positif lebih banyak terjadi pada diri sendiri dibandingkan dengan orang lain. Dengan kata lain, optimism bias merupakan tingkat optimisme yang tidak realistis. Misalnya saja pikiran bahwa seseorang telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak terhindar dari covid, mereka berpikir akan baik-baik saja, jadi aman tidak terkena covid.
Satu hal lainnya mengapa masyarakat tetap nekat, karena tidak adanya konsistensi dari Pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam menerapkan kebijakan selama pandemi covid. Misalnya saja pusat perbelanjaan dan tempat wisata dibuka untuk umum. Sebagai rakyat biasa, mereka hanya berpikir, kenapa disana boleh, disini tidak boleh. Apa bedanya, toh sama-sama membuat kerumunan, yang penting menjaga prokes. Itu pikir mereka. Nah, apalagi ini memasuki tahun kedua dimana mudik tidak dibolehkan. Tahun lalu mudik juga dilarang. Sudah tahun lalu tidak mudik, sekarang pun tidak mudik lagi, sementara seiring berjalannya waktu mereka melihat berbagai kebijakan yang tidak sejalan.
Lantas, apa yang harus kita lakukan agar kebijakan Pemerintah sukses sehingga penyebaran covid dapat ditekan seminimal mungkin. Diperlukan kesadaran dari semua pihak, baik Pemerintah maupun masyarakat sendiri. Masyarakat harus bisa menahan diri untuk tidak mudik. Dibutuhkan kesadaran dan pengorbanan yang tinggi. Masyarakat harus terus diedukasi, baik si pemudik, dan juga yang tinggal dikampung halaman, bahwa tindakan mudik yang dilakukan oleh para pemudik dapat membahayakan keluarganya, diri sendiri, dan juga orang lain.
Pemerintah juga harus tegas dan konsisten dengan aturan yang dibuat. Bukan hanya pesan yang tertulis, tapi juga perilaku. Seluruh aparat Pemerintah juga harus menunjukkan perilaku mendukung kebijakan yang telah dibuat. Dengan kata lain, selaras antara ucapan dan tindakan.
Bagaimana bagi mereka yang sudah terlanjur mudik, entah karena lolos dari penyekatan atau jauh hari sebelum larangan mudik diberlakukan mereka sudah ‘mencuri start’. Bagi mereka yang telanjur sudah dikampung halaman, jadilah orang yang bertanggung jawab. Mereka, para pemudik disana harus tetap menjaga prokes. Saat kembali ke Jakarta atau kota asalnya, mereka dengan kesadaran yang tinggi harus isolasi mandiri dan melakukan tes antigen atau swab. Kita tidak tahu pandemi ini kapan akan berakhir. Kita semua berharap, semakin cepat pandemi ini berakhir, itu semakin baik. Semoga.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.