Message of Monday – Senin, 19 September 2022 Dua Ribu Saja Disikat Oleh: Sonny Wibisono *
“Hal-hal receh membuat kesempurnaan, dan kesempurnaan bukanlah hal receh.” --Michelangelo, seniman Italia,1475-1564
Belum lama ini saya mengunjungi seorang kawan yang memiliki usaha jual-beli dan service HP di daerah Pasar Santa, Kebayoran Baru. Kebetulan layar HP saya retak akibat terjatuh. Jadi harus diperbaiki. Tokonya buka dari pagi hingga malam hari. Ia memiliki beberapa pegawai yang bekerja dalam dua shift. Selain menjual HP baru, juga HP second, berbagai asesoris, pulsa, dan tentunya, service segala merk HP. Pandemi yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun mempengaruhi usahanya. Ada penurunan omzet lebih dari 50 persen. Walau begitu, ia masih mampu untuk bertahan.
Sambil berdiskusi soal kehidupan secara panjang lebar, ia menanyakan kepada saya, apakah memiliki HP bekas atau yang tidak dipakai lagi. Sayangnya, saya tidak memilikinya. Pasaran HP bekas ini katanya mulai meningkat lagi. Maklum, daya beli masyarakat untuk membeli HP baru cenderung turun. Berapa keuntungan yang diperoleh dari penjualan HP bekas ini? Tidak banyak. Sekitar 50 ribu hingga 100 ribu rupiah. Keuntungan ini katanya lebih bagus ketimbang penjualan HP baru.
Baginya, sebagai pedagang jual-beli HP, laba 100 ribu itu sudah terhitung tinggi. Saat kami masih asyik berbincang, seorang konsumen datang ke tokonya dan menanyakan ke kawan, apakah bisa mengisi kartu e-toll. Biasanya para pengguna kartu e-toll ini tak bisa mengisi ulang karena tak memiliki kartu debit dari pihak bank yang menerbitkan kartu e-toll tersebut. Berapa biaya pengisian? Sang kawan menetapkan 5 ribu saja. Berapapun jumlah nominal yang diisi. Ia pun akhirnya pergi ke ATM terdekat dan meninggalkan saya sebentar. Jarak ATM dengan tokonya sebenarnya lumayan jauh bila harus berjalan kaki.
Saat sang kawan kembali, saya berkelakar, bahwa lima ribu disikat juga. Ia hanya terkekeh. Katanya, jangankan 5 ribu, keuntungan 2 ribu saja disikat juga. Saat ini, berapapun keuntungan yang bisa diraup, sang kawan tanpa ragu mengambilnya. Ya, penjualan pulsa ‘hanya’ memberi keuntungan 2 ribu saja.
100 ribu, 5 ribu, dan 2 ribu sepertinya terlihat sangat kecil. Tapi angka-angka ini sangat berarti bagi sang kawan. Dan saya yakin, tentunya berarti pula bagi para pedagang lainnya, tak hanya pedagang jual-beli HP.
Receh, mungkin hal remeh. Tapi bila receh dikumpulkan, dapat menjadi dahsyat. Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit, begitu peribahasa yang sering kita dengar saat mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Ingat, uang 1 juta tanpa 2 ribu tak akan 1 juta. Oh ya, masih ingat dengan kisah Pak Tirta, petani asal Majalengka yang membeli mobil baru dengan uang receh? Ya, Pak Tirta membeli mobil anyar on the road seharga lebih dari 261 juta dengan menggunakan uang receh semuanya. Wow!
Receh, nyatanya tak bisa dipandang sebelah mata. Tanpa memandang nominalnya, rezeki dimanapun dan berapapun jumlahnya memang harus dijemput. Tapi, perlukah kita mengejar receh dalam mengais rezeki?
Dalam hal ini, mungkin Tuhan ingin melihat kegigihan kita dalam menjemput rezeki. Apakah cukup tangguh. Apakah kita mau berusaha dengan gigih untuk mendapatkan receh tersebut. Bisa jadi, dari sanalah rezeki yang lebih besar siap menanti. Bila untuk mendapatkan 2 ribu saja yang sudah di depan mata dapat diraih tapi ogah-ogahan mengambilnya, bagaimana nantinya bila memang ada tawaran keuntungan yang nilainya jutaan rupiah?
Faktanya pula, dari receh-receh tersebut sang kawan mampu bertahan di tengah krisis akibat pandemi yang masih melanda. Bahkan ia masih sanggup memperkerjakan beberapa karyawannya.
Usahanya ini mungkin masuk dalam kategori UMKM alias usaha mikro kecil dan menengah. Tapi, sesungguhnya, dari merekalah, para UMKM ini, roda ekonomi negeri ini masih tetap bergerak walau mungkin secara perlahan. Bayangkan, bila ada 100 orang saja seperti kawan saya, sudah berapa banyak kepala keluarga yang mampu bertahan hidup. Ya, sudah selayaknya kita memberi apresiasi kepada mereka. Tabik!
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.