Message of Monday –Senin, 23 Januari 2012 Enam Puluh Tujuh Ribu Rupiah Oleh: Sonny Wibisono *
”Jika kamu tak dapat memberi makan seratus orang, cukup berikan makan satu orang saja.” -- Bunda Teresa
UANG bukanlah segalanya, tapi tanpa uang, seseorang tak dapat membeli segalanya. Begitulah pemeo yang sering kita dengar. Tapi pada satu momen tertentu, uang bisa menjadi segala-galanya. Walau jumlahnya hanya puluhan ribu rupiah saja. Tak percaya? Simaklah kisah berikut ini.
Namanya Deri. Sebut saja begitu. Usianya baru menginjak 25 tahun. Bekerja di Bandara Soekarno Hatta. Pekerjaan sehari-harinya mengganti tisu toilet. Suatu pekerjaan yang di telinga jarang sekali kita dengar. Suatu hari Deri ditelepon kakak iparnya untuk segera menemuinya di kediamannya di Bogor. Jarak yang lumayan jauh, karena Deri tinggal indekos di Tangerang, dekat menuju tempat kerjanya. Sang kakak ipar, Tono, katakanlah begitu namanya, ingin meminjam KTP kepunyaan Deri. Tono bermaksud membeli sepeda motor dengan jaminan KTP.
Kepada sang kakak ipar, Deri mengaku tak punya ongkos, karena belum digaji oleh perusahaan tempatnya bekerja. Deri akhirnya meminjam tetangganya 50 ribu rupiah karena dijanjikan akan diganti oleh kakak iparnya. Berangkatlah Deri ke Bogor dengan tujuan menemui Tono. Sayangnya, ketika tiba disana, Tono tak ada di rumah. Karena tak ada ongkos lagi, Deri akhirnya meminjam uang dari Sumi, istrinya Tono, yang juga tak lain adalah kakak kandungnya sendiri sebesar 17 ribu rupiah. Singkat cerita, urusan membeli motor tak lagi berlanjut. Entah karena malu tak dapat mengembalikan uang pinjaman, entah sebab lain, esok harinya Deri ditemukan sudah tak bernyawa lagi. Ia menggantung dirinya sendiri di suatu lapangan, tak jauh dari tempatnya bekerja.
Tragis memang. Inilah potret sehari-hari kesulitan yang membelit masyarakat kelas menengah ke bawah. Bagi sebagian orang, uang enam puluh tujuh ribu rupiah mungkin terlalu kecil. Tapi tidak bagi lainnya, yang pasti bagi Deri tentunya. Bila ada yang tahu kejadiannya bakal begitu, mungkin sudah banyak orang menyisihkan sebagian rezekinya untuk Deri. Tapi nasi telah menjadi bubur.
Bila menilik kejadian, sukar dipahami memang. Bagi orang lain yang mendengar kasus ini, mungkin merasa heran. Sebegitu mudahkah menyelesaikan masalah dengan jalan bunuh diri. Apakah benar tak ada jalan lain. Kita yang bukan pelaku, tak akan pernah tahu jalan pikiran mereka sesungguhnya, mengapa mereka melakukan tindakan ini. Mereka yang bunuh diri mungkin melupakan satu hal, bahwa mereka akan mewarisi seabreg masalah lainnya bagi ahli waris.
Bicara gaji, uang bulanan yang diterima Deri dipastikan sudah sesuai aturan upah minimum regional. Tapi nyatanya, Deri tak memiliki uang sepersenpun hanya untuk ongkos. Nah, pernahkah sesekali terpikir oleh Anda, berapa gaji orang-orang semacam Deri? Berapa yang diterima petugas kebersihan yang biasa menyapu di jalan tiap bulan misalnya. Lalu bagaimana mereka mensiasati hidup selama sebulan dengan uang sebesar itu. Atau lihatlah anak sekolah yang setiap pagi menjajakan surat kabar di perempatan jalan. Mengapa mereka melakukan hal itu. Tidakkah orangtua mereka kasihan mempekerjakan anaknya sendiri membanting tulang. Pertanyaan-pertanyaan lain akan terus bermunculan bila Anda setiap hari melihat sekeliling Anda ketika melakukan aktifitas sehari-hari. Jawabannya sendiri mungkin tak akan pernah Anda temukan.
Jadi apa yang bisa kita lakukan melihat fenomena kejadian seperti di atas? Anda sudah pasti tak bisa menjadi sinterklas. Memberikan segala sesuatunya kepada orang yang membutuhkan. Kemampuan seseorang jelas terbatas. Beban hidup dari hari ke hari mungkin bagi sebagian masyarakat terasa berat. Bagaimana Anda menyikapi keadaan seperti itu disekeliling Anda, itu terserah Anda. Yang pasti, Anda bisa menjadi bagian darinya. Kalau setiap harinya Anda berbuat satu kebaikan saja bagi orang lain di sekitar Anda, itu sudah sangat besar artinya. Orang bijak berkata, saat berbuat kebaikan pada orang lain, sesungguhnya kita sedang membantu diri sendiri, agar menjadi lebih bahagia. Sepakat kawan?
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday'
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.