Message of Monday – Senin, 15 Februari 2021 Jangan Lupa Bersyukur vs Jangan Lupa Bahagia Oleh: Sonny Wibisono *
“Bahagia itu terletak pada syukur. Siapa yang bersyukur kepada Allah, maka dialah orang yang paling bahagia.” -- Abdul Somad
Seorang kawan beberapa kali menulis dalam statusnya ‘jangan lupa bahagia’. Entahlah, apakah karena ia memang sedang dirundung masalah sehingga harus menuliskannya demikian. Ataukah memang hanya iseng saja. Bahkan kadang berulangkali dituliskannya. Iseng kok berulang. Kita tak tahu, marilah berpikir positif saja. Tapi, ada yang salah dengan kalimat itu?
Kalau ia menuliskan ‘jangan lupa bersyukur’, nah, itu baru saya sepenuhnya setuju. Alkisah, seorang kawan saya yang menjajakan pakaian secara daring mengalami kerugian sekitar satu juta rupiah. Barang yang sudah dikirimkan ke konsumen ternyata tidak dibayar. Tapi ia malah mengucap syukur, “syukurlah, rugi cuma satu juta rupiah.” Anaknya yang mendengar ibunya berkata demikian protes keras. Kok rugi malah bersyukur. Sang ibu menjawab diplomatis, “Ya, ruginya cuma satu juta Nak, gimana kalau ruginya sepuluh juta ...” Dalam agama pun kita diajarkan untuk pandai-pandai bersyukur. Jika kamu bersyukur, maka nikmatmu akan Kami tambah, begitu janji Tuhan.
Bahagia memang hak setiap orang. Ada saatnya seseorang bergembira, ada pula saatnya bersedih. Saat bersedih, tentu kita tak bisa berpura-pura bahagia. Kalau Anda bahagia atau merasa senang, lalu berpura-pura sedih, bisa jadi itu lebih mudah dilakukan. Tapi sulit menyembunyikan kesedihan, lalu berpura-pura bahagia seakan tak ada sesuatu yang mengganjal, walau Anda sekelas pemain sinetron sekalipun.
Satu fungsi sepasang mata yang diberikan oleh Tuhan, selain untuk melihat, juga untuk menangis. Saat kita bersedih, adakalanya kita (harus) menangis. Misalnya saja saat ditinggal pergi orang yang kita cintai. Menangis tentu sewajarnya. Tak perlu meraung-raung juga, apalagi sambil membenturkan kepala ke dinding.
Nah, konteks bicara syukur berkaitan dengan resilience. Bahasa kerennya: ketangguhan. Ketangguhan seseorang dalam menghadapi berbagai rintangan dapat dilihat dari bagaimana menyikapinya. Semakin mengeluh terhadap keadaan yang dialaminya, semakin ia tak pandai bersyukur. Jadi dalam keadaan apa dan bagaimanapun, kita harus, bahkan wajib bersyukur. Ini seperti kisah seorang pejalan kaki yang terpeleset di jalan. Ia malah mengucap syukur, untunglah cuma kepeleset, tidak terluka. Seandainya terluka, ia akan mengatakan, ‘untunglah tidak patah.’ Sampai pada titik akhir, ia akan mengatakan ‘untunglah tidak mati.’
Wabah pandemi yang melanda negeri ini, dan juga dunia, memperlihatkan sesungguhnya ketangguhan yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, boleh jadi Tuhan akan melihat atau menguji, seberapa besar rasa syukur yang dimiliki oleh hamba-hambaNya.
Jadi saran saya, jangan lupa bersyukur. Soal bahagia, saya tak bisa menyarakankan Anda untuk jangan lupa bahagia, hanya doa yang bisa saya panjatkan untuk Anda semoga bahagia selalu. Seperti kutipan di atas, kalau Anda mau bahagia, banyak-banyaklah bersyukur.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.