Message of Monday - Senin, 25 Agustus 2008 Ketika Etika Hilang Seketika Oleh: Sonny Wibisono
“Jadikan hidup Anda lebih bermakna, walau hanya sehari sekalipun, dengan mengedepankan etika, bukan hanya mengikuti peraturan belaka.” -- Wayne Dyer, pembicara dan penulis asal Amerika
IBARAT pasar saja. Begitulah keadaan di zaman sekarang, saat pemilihan umum akan bergulir dalam jangka waktu yang tidak lama lagi. Partai-partai menata diri, lebih wangi, lebih kinclong, dan ehm, lebih glamor. Lihat saja para pemain sinetron yang biasa mewekdi layar kaca, biasanya yang cakep kebagian peran protagonis yang kemudian bahagia di akhir cerita, tiba-tiba fasih berbicara tentang kemakmuran rakyat. Eh, penyanyi dangdut tanggung, yang nyaris tidak pernah punya hits, tiba-tiba maju menjadi calon wakil bupati. Begitu juga pemain sinetron yang berwajah tampan, selalu menjadi tokoh utama, maju pula menjadi calon legislatif.
Alhasil, partai yang semula adem ayem mendadak riuh. Mereka, para politisi kader yang merangkak dari bawah, tiba-tiba kecewa karena posisi mereka didepak dengan kehadiran politisi wangi bau kencur itu.
Siapa yang salah? Ah, politik sih di mana-mana selalu begitu. Coba telaah arti dari politik itu sendiri, yang berarti jalan untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Nah, partai politik dimanapun, haruslah memiliki cita-cita menjadi partai penguasa. Kalau bukan itu yang menjadi cita-cita mereka, yah,mendingan bubar jalan dan membentuk arisan saja.
Hanya saja, masalahnya bagaimanakah soal menenggang pengorbanan, perjuangan, dan juga kerja keras yang sudah dilakukan para pekerja partai tersebut. Kesalahan memang tak melulu harus ditimpakan kepada para artis yang dituding menyerobot lahan para kader. Yang mengajak mereka juga perlu dipertanyakan. Kok ujug-ujug orang luar yang didahulukan, bukannya dari kader yang diutamakan. Pada akhirnya, ini menjadi persoalan etika alias menakar kepatutan. Gara-gara itu pula, etika pun hilang seketika.
Lihat juga yang terjadi berikutnya. Aktivis partai yang semula berkoar-koar tentang kehebatan platform dan perjuangan partai tiba-tiba saja wuzzzz, pindah kantor, ganti jas seragam, dan juga berganti ideologi. Tak ada yang salah. Namun, isme atau ideologi bukan baju atau ponsel yang ketika kita sudah bosan bisa diganti semaunya. Ada ukurannya, dan yang paling gampang membaca mereka, para konstituennya. Akuntabilitas politiklah yang seharusnya dikedepankan. Janji mereka di awal kepada konstituen, seharusnya menjadi acuan dalam bertindak dan bersikap.
Halah, kenapa jadi bicara politik? Basi banget. Sekarang, mari kita bicara dalam konteks pekerjaan misalnya. Dalam kasus yang berbeda, toh lompat pagar, bukan semata milik kaum politisi saja. Para karyawan suatu perusahaan pun dapat melakukan hal yang sama. Karyawan, karena satu dan lain hal, pindah kerja ke perusahaan lain, yang kadang merupakan perusahaan pesaing sebelumnya dimana ia bekerja. Apakah hal itu dapat dibenarkan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita harus mengetahui dulu, mengapa para karyawan tersebut pindah kerja. Marcus Buckingham dan Curt Hoffman, penulis buku First Break All the Rules mengatakan, bahwa para pekerja sesungguhnya meninggalkan manajer atau direktur, bukan perusahaannya. Dengan alasan apapun juga, para manajer dan direktur adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam suatu organisasi.
Tapi pertanyaan berikutnya, apakah pindah ke perusahaan pesaing dapat dibenarkan? Walaupun para atasan mereka sebelumnya dijadikan alasan mengapa mereka berhenti, secara etika, hal itu tidak dibenarkan. Mengapa? Tentu saja para karyawan yang pindah tersebut membawa rahasia perusahaan, pengetahuan, pengalaman, dan relasi mereka ke perusahaan pesaing mereka. Seandainya mereka pindah ke perusahaan dengan posisi dan usaha yang berbeda, sangat mungkin tidak menjadi masalah.
Jadi sekali lagi, masalah etikalah yang menjadi pokok persoalan disini. Oleh karena itu, etika menjadi bagian yang penting bagi setiap individu, terutama mereka para karyawan yang bekerja di perusahaan. Untuk mengatur etika para karyawannya, termasuk para petinggi mereka, pihak perusahaan menerbitkan kode etik atau biasa kita kenal sebagai code of conduct.Hal yang sama juga berlaku di partai politik, lembaga pemerintahan, organisasi, termasuk asosiasi profesi sekalipun.
Bicara etika, sesungguhnya bukan bicara soal ’boleh’ atau ’tidak boleh’. Karena soal ’boleh’ atau ’tidak boleh’, hal itu sudah diatur dalam peraturan. Bila Anda melanggar, Anda akan dikenakan sanksi. Tetapi bila bicara etika, maka kita bicara ’patut’ atau ’tidak patut’, ’pantas’ atau ’tidak pantas’. Dalam hal ini, etika lebih tinggi dari peraturan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita bersinggungan dengan etika, walau kadang tidak menyadarinya. Misalnya saja, ketika kita berulang tahun dan berencana mengajak rekan kerja untuk makan bersama, ternyata pada saat yang bersamaan, sseorang rekan mengalami musibah kematian, ada keluarganya yang meninggal. Tentu saja dalam konteks ini, merayakan ulang tahun dengan makan bersama menjadi tidak tepat lagi. Akan lebih elok, bila uang yang tadinya direncanakan digunakan untuk mentraktir, diberikan kepada sang teman yang mengalami musibah tersebut untuk sedikit meringankan beban.
Atau dalam suatu forum, ketika pada waktunya Anda mendengarkan, Anda malah keluar karena menerima panggilan telepon. Bisa juga dalam suatu jamuan makan bersama, karena sudah tak tahan, Anda malah bersendawa.
Dalam lain kesempatan, ketika Anda sedang makan enak, datanglah pengemis yang kelaparan. Tak ada aturan dalam pasal manapun di undang-undang yang mengharuskan Anda menolongnya. Anda berhak untuk meninggalkan dan mengacuhkannya. Kualitas perilaku Anda, jelas ditentukan oleh bagaimana Anda bersikap dalam menghadapi kenyataan tersebut.
Pada akhirnya, derajat kemanusiaan seseorang akan terlihat dari perilakunya dalam menjaga etika, lebih dari sekedar menaati aturan. (250808)
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.