Message of Monday - Senin, 24 Maret 2008 Mengelola Ekspektasi Oleh: Sonny Wibisono
“...dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata...” -- W.S Rendra, penyair Indonesia
KEJADIANNYA selalu sama. Seorang remaja pendiam, pemurung, dan terkesan aneh dibandingkan teman-temannya yang lain. Dalam kesendiriannya itu, sebuah dialog berkecamuk berat di kepalanya. Singkat cerita, dikeheningan pagi, dia masuk ke dalam ruangan kampus. Sepucuk pistol dan banyak lagi senjata api lainnya dimasukkan ke dalam ranselnya. Di pagi buta. Udara pun masih dingin, bahkan masih ada kabut yang menerpa wajah. Lalu terjadilah bencana.
Pistolnya menyalak seperti anjing yang melihat orang yang tak dikenalnya. Berondong sana, berondong sini. Dar-der-dor. Begitulah bunyi peluru ketika ditembakkan. Pistol itu mengambil nyawa orang-orang di sekitarnya. Mereka terjengkang. Mati, satu demi satu. Lantas, episode penutup pun terjadi. Dor,dia menembak kepalanya sendiri. Pemuda itu mati menyusul orang-orang yang lebih dulu dia tembak. Tragis. Seperti itulah kisah hidupnya.
Itulah sepenggal kisah yang terjadi dalam film Elephant, garapan sutradara Gus van Sant. Film yang berdurasi 81 menit ini dengan gamblang menceritakan bagaimana sebuah perencanaan pembunuhan dilakukan oleh seorang pemuda di sekolahnya. Tapi, ah, untung hanya sebuah film.
Untung? Not really. Film ini pada akhirnya memang hanya rekaan. Tapi van Sant punya blue print yang jelas tentang peristiwa ini, yakni peristiwa yang terjadi di Columbine High School, pada 1999. Kejadian di sana, kurang lebih persis seperti dalam filmnya. Semula orang berharap kejadian itu merupakan yang terakhir, tapi ternyata tidak. Seperti memutar pita seluloid, berbagai kejadian yang mirip pun kembali terulang. Malapetaka paling akhir justeru terjadi di Hari Kasih Sayang, 14 Februari 2008. Di Amerika Serikat, 18 orang di kampus Northern Illinois tertembak oleh seorang pria berkulit putih. Empat orang dilaporkan tewas. Kejadiannya selalu sama: si penembak akhirnya bunuh diri.
Singkatnya, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, Kantor Berita AFP melansir telah terjadi sedikitnya 16 penembakan di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Kebanyakan dari mereka akhirnya menembak dirinya sendiri. Pelakunya pun sebagian besar adalah remaja atau siswa dari sekolah tersebut. Dari kejadian-kejadian tersebut, diduga pelaku mengalami stres, sehingga melampiaskannya kekesalannya dengan membunuh dan melukai orang lain. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Betul, bahwa keadaan di Amerika Serikat dan di sini tentu berbeda. Tapi, marilah kita tarik garis kesamaannya. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menjumpai bahwa kenyataan yang terjadi pada akhirnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan pada awalnya. Sebenarnya hal itu normal saja. Masalahnya adalah ketika ternyata kenyataan yang terjadi jauh dari harapan, sungguh memukul hati dan perasaan. Kita merancang dengan matang suatu planjauh-jauh hari sebelumnya. Kita berharap bahwa rencana itu seharusnya terjadi. Ternyata, setelah rencana telah dibuat matang sekalipun, dapat meleset juga. Dan pada akhirnya yang terjadi tidaklah sesuai kenyataan. Ekspektasi kita adalah das sollen, yaitu apa yang kita harapkan bakal terjadi. Tetapi ternyata kenyataan lainlah yang sesungguhnya terjadi atau kita menyebutnya das sein. Dalam lingkup nasional, banyak kita temui siswa-siswa yang melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena ada jurang pemisah yang besar antara das sollendan das sein. Antara kenyataan yang terjadi sangat berbeda jauh dari harapan.
Pada dasarnya mengelola ekspektasi bukanlah sesuatu hal yang baru. Kita sebenarnya sering melakukannya. Dalam mengelola ekspektasi, hal penting yang harus selalu diingat ialah bahwa kita harus sadar akan kemampuan kita dan selalu mencari alternatif lain terhadap pemecahan suatu masalah. Mengetahui kemampuan diri sendiri itu penting. Hal ini untuk mengukur tolok ukur kita sendiri sampai sejauh mana. Dengan mengetahui kapabilitas diri sendiri, kita dapat mengetahui persentase sejauh mana target yang akan kita capai dapat berhasil. Kita pun dapat pula mencari alternatif lain, seandainya target yang kita capai nantinya tidak sesuai dengan rencana awal.
Anda bingung? Mari kita ambil sebuah contoh. Misalkan Anda berencana mendaftar beasiswa untuk mengambil gelar master di luar negeri. Pilihannya di masa sekarang, wow,asoy geboy, beasiswa tersedia di mana-mana. Berbagai lembaga pendidikan pun ada di mana-mana. Siapa yang tak mau, belajar di luar negeri, dengan berbagai keunggulan mendapatkan pelajaran yang bagus. Bisacas cis cusBahasa Inggris dengan fasihnya. Dan, ehm,ada uang saku lagi.
Tawaran yang menggiurkan. Anda pun segera tergerak untuk mengikutinya. Tentu dengan segala bekal. Anda sudah mengukur kemampuan Anda sebelumnya. Katakanlah untuk mencapai tujuan itu, Anda belajar dengan giat ditambah dengan kursus Bahasa Inggris untuk mencapai nilai standar. Kalau Anda berpikir rasional, tentu saja rencana Anda tersebut bisa saja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tapi kemudian, bagaimana mengelola ekspektasi Anda tersebut? Artinya, bagaimana kalau Anda kemudian gagal? Mau ambil senjata menembaki siapa saja dan akhirnya menembak kepala sendiri? Gak la ya. Tentu bukan itu. Anda harus mempunyai alternatif-alternatif jalan lain, seandainya rencana Anda gagal. Misalkan saja rencana Anda berikutnya ialah Anda akan belajar dengan lebih giat lagi, ditambah Anda mulai mencari dana atau biaya tambahan dengan bekerja paruh waktu atau full time. Kalau berhasil di tahun kedua, tabungan yang telah Anda kumpulkan bisa untuk digunakan hal-hal lainnya atau tetap ditabung. Bagaimana bila gagal lagi? Seandainya gagal kembali di tahun berikutnya, maka dengan biaya yang telah Anda kumpulkan sebelumnya, Anda bisa mengambil gelar master di dalam negeri dengan mengambil universitas favorit. Dan bagaimana kalau gagal lagi? Ah, kesiann deh lu,begitu kata tetangga sebelah. Dalam hal ini Anda musti berkaca diri terhadap kemampuan Anda. Bisa jadi Anda memasang target terlalu tinggi. Hal ini dapat menjadi evaluasi lebih lanjut. Anda dapat menyusun ulang rencana-rencana berikutnya yang benar-benar rasional.
Itu sebenarnya hanya sekedar contoh saja. Jadi ketika Anda mengalami kegagalan, Anda tidak kaget karenanya. Anda pun terhindar dari stres. Anda bahkan sudah siap dengan rencana-rencana berikutnya. Rencana-rencana alternatif yang rasional, yang tentu saja salah satu pilihannya bukanlah membeli pistol. (240308)
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.