Message of Monday – Senin, 26 Juli 2010 Saat Asa Mati Rasa Oleh: Sonny Wibisono *
“Di dunia ada keseimbangan antara yang baik dan buruk, sehingga ketika masa buruk tiba, ketahuilah bahwa sebentar lagi masa baik akan datang.” -- Margaret Sullivan, usia 17 tahun
DIA memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Rupanya persoalan yang dihadapinya teramat berat. Hingga akhirnya dia memilih jalan nan tragis itu. Ini pengalaman yang sangat tidak mengenakkan. Selama ini, berita tentang bunuh diri hanya muncul di koran atau televisi. Tapi kali ini begitu nyata: penjual gado-gado langganan dekat kantor, menghabisi nyawanya sendiri.
Padahal Manto, sebut saja begitu, sebenarnya termasuk orang yang ramah. Pandai bergaul. Gado-gado buatannya lumayan enak. Para pembelinya kebanyakan berasal dari kantor dan perumahan sekitar. Ia selalu tersenyum acap kali pelanggannya menyerbu tenda warungnya.
Akhirnya kami mengetahui jawabannya. Ternyata Manto mempunyai segudang masalah. Pembelinya mulai berkurang, tak seramai dulu lagi. Ditambah harga sembako yang makin membubung, sedangkan pemasukan tak bertambah, membuat dia harus berutang di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kematian Manto ini makin menambahkan jumlah kasus bunuh diri di Jakarta. Laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100 ribu penduduk melakukan bunuh diri. Peringkat paling tinggi adalah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang mencapai 9 kasus per 100 ribu penduduk.
Angka yang tidak mengagetkan sebenarnya. Sebab, pada akhir 2008, WHO sudah memprediksi akan dampak krisis keuangan global pada kondisi kesehatan mental masyarakat dunia. Menurut WHO, krisis keuangan global yang terjadi, bisa membuat banyak orang mengalami depresi, stress, gangguan kejiwaan, dan mudah putus asa.
Benar saja. Berita bunuh diri kemudian meruyak di berbagai media massa. Yang terakhir mungkin kisah anak sekolah yang putus asa karena orang tuanya tak mampu menyekolahkannya. Sungguh memilukan.
Sepertinya sepele saja sebabnya. Namun kita yang bukan pelaku, tentu tidak bisa menyelami lebih dalam apa alasan mereka melakukan bunuh diri. Sama halnya dengan harakiriyang dilakukan di Jepang. Hanya karena malu, kok lantas bunuh diri. Bukankah bisa pergi ke luar kota atau luar negeri ketimbang harus menghabisi nyawa sendiri.
Pun demikian dengan mereka yang juga mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya. Kita tak akan pernah tahu jalan pikiran mereka. Bagi mereka, bunuh diri mungkin merupakan suatu solusi. Padahal, ketika mereka melakukan hal itu, mereka pun mewarisi seabrek masalah tersebut kepada keluarganya. Nah, ini yang merepotkan.
Tapi benarkah tidak ada jalan keluar lain? Ada dua hal yang sesungguhnya patut diingat oleh setiap insan manusia bila menghadapi masalah. Walau seberat apapun, sejatinya, tak ada masalah yang tak dapat dihadapi di dunia ini. Dan, ini yang penting, yakinlah, bahwa seorang manusia tak akan menerima beban suatu masalah melebihi kemampuannya untuk mengatasinya.
Adanya masalah yang timbul, menandakan bahwa kehidupan ada dan terus berjalan. Seseorang manusia yang tangguh dapat dilihat dari daya tahannya ketika mendapatkan masalah dan seberapa tangguh mereka menghadapi masalah tersebut. Jadi, betapapun sulitnya masalah yang menghadang, kita harus siap untuk menghadapinya. Hari gini putus asa? Apa kata dunia?
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.