Message of Monday – Senin, 1 Maret 2021 Sekali Lagi, Ketamakan Milik Siapa Oleh: Sonny Wibisono *
“Aku rasa hidup tanpa jiwa, orang yang miskin ataupun kaya sama ganasnya terhadap harta.” -- Kantata Takwa dalam ‘Nocturno’
Penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah oleh Petugas KPK saat operasi tangkap tangan mengagetkan banyak pihak. Mengapa? Nurdin Abdullah selama ini terkenal dengan berbagai prestasinya yang diperoleh bahkan meraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) atau biasa disingkat Hatta Award pada tahun 2017. Nurdin Abdullah meraih penghargaan anti-korupsi tersebut bersama Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi. Memang, saat itu Nurdin masih menjabat sebagai Bupati Bantaeng periode 2008-2018. Penghargaan yang didapat melalui proses yang tidak mudah serta penilaian yang ketat oleh dewan juri. Terpilihnya Nurdin sebagai Gubernur Sulawesi Selatan diyakini pula tak terlepas dari kiprahnya yang moncer selama menjabat sebagai Bupati Bantaeng.
Sebenarnya, kasus tertangkapnya Nurdin bukan pertama kali terjadi dimana profil seseorang dianggap tak ada cela oleh institusi yang bukan sembarangan. Masih ingat tertangkapnya Nur Pamudji mantan Dirut PLN yang tersandung oleh kasus korupsi? Padahal ia juga peraih Hatta Award. Masih ada kasus-kasus lain yang serupa dimana publik pada akhirnya terkecoh diujung. Sungguh menarik bahwa pola ini ternyata berulang.
Tentu asas praduga tak bersalah disini harus dikedepankan. Nurdin belum tentu bersalah. Pengadilan nanti yang akan memutuskan. Nah, terlepas apakah nanti Nurdin diputuskan bersalah atau tidak, mengapa perkara korupsi di negeri ini seakan tiada habisnya? Bahkan dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya memiliki materi lebih dari cukup. Tengok saja Menteri Sosial Juliari Batubara yang juga dicokok oleh KPK. Juliari selama ini merupakan pengusaha yang terkenal sukses.
Mereka yang melakukan korupsi juga bukan orang yang berkekurangan, bahkan terpandang di mata masyarakat. Bisa jadi sebenarnya secara tidak sadar kita terbiasa disuguhi dengan perilaku demikian. Atau jangan-jangan malah kita merupakan bagian darinya. Suatu kondisi di masyarakat dimana merasa kekurangan sehingga merasa tak pernah cukup. Akumulasi inilah yang akhirnya berubah menjadi tamak.
Perkara korupsi sejatinya disulut oleh ketamakan. Hal itu yang membuat para pelakunya menambah pundi-pundi kekayaannya entah bagaimana caranya. Menyelundupkan sepeda Brompton atau motor Harley misalnya. Padahal memakai sepeda dan motor yang harganya lebih murah tidak mengubah fungsi kegunaannya. Sejatinya dengan memakai alat transportasi yang layak, tak perlu bagus pun, manusia bisa hidup dengan nyaman. Nyatanya, ketamakan mendorong seseorang pergi jauh hingga pada satu titik ketidaksadaran telah melakukan tindakan memalukan.
Kisah berikut ini mungkin bisa menjadi pemantik. Bila Anda berlangganan Netflix, mungkin sudah menonton film ‘Minimalists: Less is Now’. Film Dokumenter, yang dirilis 1 Januari lalu, bercerita tentang pentingnya hidup minimalis. Kehidupan yang serba modern membuat manusia cenderung menjadi konsumtif. Keinginan membeli berbagai barang seakan tiada habisnya termasuk barang yang tidak dibutuhkan sekalipun. Ada banyak hal sebenarnya yang bisa terjadi saat manusia hidup dengan minimalis. Memiliki barang-barang yang sedikit karena memang itu yang diperlukan sangat mempengaruhi kepribadian dan kehidupan seseorang. Inilah yang ingin disampaikan dalam film tersebut oleh Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus. Ada baiknya para pejabat negeri ini bila menyaksikan film tersebut.
Bahaya memang bila tamak yang berlebihan sudah merasuki diri seseorang. Inilah ’pleonexia’, tamak yang berlebihan. Sebenarnya, milik siapakah ketamakan itu? Apakah milik mereka yang memiliki karir yang bagus seperti contoh film di atas? Not really. Tidak juga. Don McClanen mengatakan kondisi yang disebut ’pleonexia’ telah menguasai Amerika. Ujarnya, ”Pleonexia is an insatiable need for more of what I already have, and it has penetrated our culture to the point where people are angry at the poor.”
Faktanya, ketamakan tak melihat status sosial. Sering kita melihat dalam suatu resepsi pernikahan misalnya, ada beberapa pengunjung yang memasukkan makanan ke dalam tas mereka untuk dibawa pulang. Padahal, bisa jadi ada pengunjung lain yang belum menyantap makanan tersebut. Itu hanya satu contoh kecil saja.
Ketamakan pada akhirnya menjadi panglima yang menuntun kita pada jurang kebinasaan. Nafsu besar meraih harta secara tak elok lebih baik ditinggalkan. Berapapun rezeki yang kita dapatkan, bersyukurlah. Setidaknya pula cukup untuk berbagi terhadap sesama yang kekurangan. Bukan begitu, kawan?
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.