Message of Monday – Senin, 23 Agustus 2010 Tak Ada yang Tak Mungkin Oleh: Sonny Wibisono *
“Saya tidak pernah tahu bahwa ada orang yang berhasil meraih puncak tanpa kerja keras. Kerja keras adalah resepnya.” -- Margaret Thatcher, Mantan Perdana Menteri Inggris
SATU hari pada 1940. Dari suatu desa, seorang Ibu beserta anaknya mendatangi seorang dokter di kota. Sang ibunda mengeluh bahwa anaknya sulit sekali untuk berjalan. Pemeriksaan dokter tak berlangsung lama. Sang anak divonis tak akan mampu berjalan. Kelainan itu dinamakan polio. Penyakit ini pada saat itu belum ditemukan obatnya. Satu penyakit yang paling dikawatirkan orangtua manapun. Bahayanya, penyakit ini dapat menyebar ke paru-paru dan melumpuhkan jaringan saraf. Walau vonis telah dijatuhkan, masih ada harapan untuk hidup ujar sang dokter, karena penyakit ini hanya menyerang kaki sang anak saja.
Mata sang ibunda berkaca-kaca. Hatinya begitu trenyuh mendengar kondisi sang anak. Untuk mencapai tempat praktik sang dokter saja, diperlukan usaha yang tidak ringan. Mereka berangkat dari tempat yang dapat dikatakan tidak dekat. Dengan hanya sedikit uang, mereka berdua naik bus menuju rumah sakit di Nashville. Walau perjalanan itu ditempuh dengan susah payah, justeru berita buruklah yang mereka peroleh.
Sang anak yang terkena polio dan divonis tak dapat berjalan, dilahirkan dengan nama Wilma Rudolph. Saat masih berusia empat tahun, ada pencapaian besar dalam hidupnya yang diterima oleh Wilma: mampu bertahan hidup. Saat masih kecil, ibunya mendapati Wilma terserang berbagai penyakit: gondok, cacar air, demam skarlatina, dan pneumonia pada saat yang sama.
Ibu Wilma tak begitu saja percaya apa yang dikatakan oleh sang dokter. Sang ibu tak putus asa, ia malah mempunyai ide lain. Selama dua kali dalam satu minggu, mereka berdua menumpang bus Greyhound untuk menempuh perjalanan menuju Nashville selama satu jam. Terapi fisik yang diterapkan sang ibunda, sungguh menyiksa Wilma. Hal itu dilakukan agar kaki Wilma semakin kuat. Dan pada saat berusia enam tahun, Wilma diberikan penyangga kaki untuk membantunya berjalan dengan normal. Alat ini meskipun membantu Wilma untuk berjalan, tetapi membuat ia tak dapat bersekolah dan hanya tinggal di rumah saja. Melihat teman-teman sebayanya pulang dan pergi sekolah, bermain, serta berlari, membuat Wilma mengalami depresi hebat.
Dalam keadaan tertekan, Wilma tetap melanjutkan terapi fisik dirumah. Saudara-saudaranya turut membantunya, bahkan ikut memijat kakinya. Tahun berikutnya, Wilma memaksakan untuk sekolah dengan menggunakan penyangga kaki. Dan beberapa tahun kemudian, pada hari minggu, ia menimbulkan kegemparan di gereja ketika Wilma melewati bangku tanpa menggunakan penyangga. Wilma berjalan dengan kedua kakinya.
Pada saat Wilma memasuki jenjang SMP, ia mencoba masuk tim basket putri di sekolahnya. Kepada pelatih, ia memohon untuk dapat bermain. Sang pelatih mengizinkan, tetapi Wilma tidak bermain penuh. Ia hanya dipakai saat waktu permainan sudah mendekati akhir. Hal ini berlangsung terus selama tiga tahun. Wilma benar-benar merasa frustasi dibuatnya.
Walau bermain hanya sebentar, Wilma tetap tetap mengamati rekan-rekannya bermain. Ia menganalisa dan merenung. Hal ini memberinya kekuatan. Setelah tiga tahun berlalu, Wilma memaksa pelatihnya untuk memainkannya sejak awal. Pelatihnya menyanggupi. Walau akhirnya tim basketnya kalah, Wilma mendapat perhatian lebih dari seorang pelatih lari putri di Tennessee State University. Sang pelatih lari mengundangnya untuk bergabung di Tigerbelles, satu tim lari putri unggulan yang ternama di daerah itu.
Wilma menyetujui bergabung. Dalam permulaan lomba yang diikutinya, Wilma selalu kalah. Bahkan tertinggal jauh dari para lawan-lawannya. Meski kalah, Wilma tetap berlatih dengan penuh semangat. Ia melatih kekuatan fisik sekaligus mentalnya. Latihan yang dijalani Wilma akhirnya membuahkan hasil. Di tahun 1956, ia diundang Tigerbelles untuk mengikuti tes mengikuti lomba di Olimpiade. Selama hidupnya hingga tahun 1956, Wilma tak pernah beranjak sejengkalpun dari daerah Selatan Amerika, untuk pertama kalinya terbang dan langsung menuju Australia mengikuti Olimpiade Melbourne. Di usianya yang terbilang muda, 16 tahun, Wilma merebut medali perunggu. Suatu hasil yang sebenarnya tidak terlalu mengecewakan. Ketika melihat para lawannya dikalungi medali emas, ia bertekad untuk kembali lagi empat tahun kemudian.
Selama empat tahun berikutnya, Wilma berlatih dengan lebih keras lagi. Ia pun menerima beasiswa penuh ke Tennessee State. Pada tahun 1960, Wilma kembali mengikuti Olimpiade. Ia pun berangkat ke Roma untuk mengikuti tiga pertandingan secara terpisah. Ketika para pelari dari negara lain mengalami kepanasan pada suhu 37 derajat Celsius, Wilma malah menganggapnya sebagai musim panas di Tennessee. Di Olimpiade kali ini, Wilma merebut tiga medali emas untuk nomor 100 meter, 200 meter, dan 400 meter lari estafet. Dalam Olimpiade kali ini, Wilma menjadi wanita pertama di Amerika Serikat yang merebut tiga medali emas di olimpiade. Ia pun merebut gelar, ‘wanita tercepat di dunia.’ Setelah pulang ke negaranya, Wilma mendapat banyak permintaan untuk mengikuti pertandingan persahabatan. Hari-hari berikutnya, Wilma pun keliling Eropa mengikuti berbagai pertandingan.
Dalam hidupnya, Wilma mendapat penghormatan terbesar bagi dirinya saat di kota Tennessee dilakukan parade penyambutan khusus untuk dirinya. Tapi sebelum parade dilaksanakan, Wilma mengajukan syarat, agar kota itu menghilangkan hukum segregasi selama parade penyambutannya. Walikota pun mengabulkannya. Inilah parade sekaligus pesta terbesar yang pernah diadakan di kota Tennessee pada saat itu.
Walau tidak mengikuti lomba lagi setelah pensiun, Wilma tetap aktif dalam olahraga. Ia menjadi komentator pertandingan lari di tivi. Mendirikan yayasan atas namanya untuk atlet amatir. Ia pun menjadi pelatih untuh pelari-pelari, seperti Jackie Joyner-Kersee dan Florence Griffith Joyner. Para pelari yang juga memenangi emas Olimpiade. Mereka, dan juga para pelari lain yang dibimbing oleh Wilma terinspirasi oleh semangat dalam hidupnya bahwa: tak ada yang tak mungkin tanpa kerja keras.
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009
Dalam beberapa hari terakhir ini di media sosial bersliweran isu mengenai kasus pernikahan satu keluarga yang viral. Isu ini bahkan oleh sebagian pihak dijadikan meme.
Bulan Desember identik dengan berbagai hal. Seperti peringatan Natal, musim dingin, atau perayaan tahun baru. Apa lagi? Tak hanya itu, Desember konon surganya bagi para konsumen untuk berbelanja dengan harga murah. Mengapa?
Tahun 2023 baru saja kita songsong dengan penuh keyakinan. Walau begitu, ada beberapa nada sumbang terdengar dalam menyambut tahun baru ini. Beberapa pengamat meramalkan bahwa perekonomian global di tahun 2023 akan terasa gelap. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam satu orasi ilmiah mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.