CANDU DAN CERITA DI BALIK KOPI. Selama ini, bila kopi di kantor atau rumah habis, sayalah tertuduh utama sebagai biang keroknya. Dalam sehari, saya memang bisa menenggak 4-5 cangkir kopi. Bahkan, sebelum penyakit batu ginjal datang menghampiri, sehari bisa sampai 10 cangkir. Teman kopi, kalau kata orang adalah rokok. Tapi saya sama sekali tak menyentuh rokok. Menghirup asapnya pun tak tahan. Minum kopi bergelas-gelas tak lantas membuat saya melek seharian. Saya sudah imun terhadap kopi atau kafein yang terkandung di dalamnya. Lantas kopi macam apa yang saya benar-benar menikmatinya? Jawabannya tentu bukan ‘kopilih kamu hanya seorang’ atau ‘kopinang engkau dengan emas duapuluh empat koma lima karat.’ Saya tak prefer ke satu jenis kopi tertentu. Pokoknya kopi.
Kopi yang enak, wujudnya berbentuk biji kopi atau bubuk kopi yang sudah digiling. Jangan samakan kopi saset yang dijual di pasaran atau tukang kopi keliling ya. Seorang kolega kantor memberi hadiah mesin kopi. Mesin kopi itu ditaruh persis dekat ruang rapat. Mesin kopinya sendiri sudah seharga satu motor. Saat ini yang tersedia di kantor, kopi biji Arabica dan Robusta. Dengan mesin kopi, kita bisa meracik kopi sesuai selera kita.
Dulu ada penelitian bahwa menggaruk bagian badan kita itu sama nikmatnya dengan orgasme. Maka mustinya ditambah satu lagi kenikmatan yang sama dengan orgasme, yaitu menyesap kopi.
Kita sebenarnya belum terbiasa dengan budaya minum ngopi bareng. Bila ada istilah ‘warung kopi’, maka yang terlintas adalah warung di pinggir jalan dengan menjual kopi jenis saset-an. Pernah, saat tugas ke daerah, di jalan terpampang “Sedia Macam-Macam Kopi”. Karena penasaran, akhirnya singgah. Ternyata yang tersedia semua jenis kopi sasetan, bukan seperti yang dibayangkan sebelumnya, seperti kopi Arabica, Robusta atau lainnya.
Indonesia sejatinya merupakan negara penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia dengan produksi rata-rata lebih dari 600 ribu ton per tahun atau sekitar 8% dari produksi kopi dunia. Kopi yang kita hasilkan di negeri ini juga di ekspor ke berbagai negara di dunia dan sudah terkenal akan mutunya. Tapi anehnya, Indonesia tidak masuk ke dalam negara peminum kopi terbanyak di negerinya sendiri. Pemerintah seharusnya menggalakkan masyarakat untuk mengkonsumsi kopi lokal. Ini tentu sangat membantu dalam memberdayakan petani kopi lokal. Perputaran ekonomi pun bisa jalan di setiap sudut pelosok negeri. Justru yang sering kita temui saat ini, masyararakat lah yang harus pandai-pandai dalam mempromosikan kopi lokal.
Saat singgah di Rest Area km 260B Tol Trans Jawa, bila kita melewati jalan tol, tempat istirahat ini berada di sisi kiri jalan dari arah Semarang menuju Jakarta, ada satu cerita menarik saat berkunjung. Area ini merupakan bekas Pabrik Gula Banjaratma yang sudah puluhan tahun berhenti beroperasi dan disulap menjadi Rest Area yang lumayan besar dan bagus. Ada satu kisah menarik dari penjual kedai kopi yang berbaur di antara para penjual lainnya. Kedai ini lumayan ramai pengunjungnya. Sang pemilik kedai bercerita, di satu tempat di Brebes ada perkebunan kopi kecil yang isinya pohon-pohon kopi yang sudah tua yang ditanam saat zaman Belanda dulu. Kopi itu punya rasa yang sangat spesifik. Hal itu tentu menarik, dan perlu didukung oleh Pemerintah setempat. Mendukung mulai dari perkebunannya, penjual kopi, hingga yang menjajakan kopinya, baik dalam bentuk kredit, pelatihan, ataupun manajemennya. Saat pandemi ini, saya tak tahu, apakah kedai ini masih buka.
So? Kopi sejatinya bukan hanya sekedar diminum, tetapi kita juga perlu memahami cerita dan makna di balik biji kopi itu sendiri. Tapi tahukah kamu, bahwa tanggal 1 Oktober merupakan hari Kopi Sedunia. Selamat Hari Kopi. Selamat menikmati (secangkir) kopi. Tapi omong-omong, sudah ngopi belum?
Jakarta, 1 Oktober 2020 Sonny Wibisono, penikmat kopi