KEPADA TNI KITA BERSERU: NETRAL ITU INDAH Oleh: Sonny Wibisono
Pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 5 April 2004 telah berlangsung dengan damai dan lancar. Hasil dari pemilu tersebut telah melahirkan susunan anggota legislatif terpilih, baik di DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pekan lalu, tepatnya pada tanggal 5 Juli 2004, rakyat Indonesia baru saja menapaki salah satu tonggak sejarah politik kenegaraannya, yakni untuk pertama kalinya memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Mungkin banyak pengamat yang berspekulasi bahwa dalam pemilu akan terjadi keributan menjadi kecewa, karena dalam pemilu legislatif dan pilpres putaran pertama tidak terjadi insiden yang berarti. Memang terdapat ketidak puasan di sana sini, tetapi seluruh organ penyelenggara pemilu mulai dari KPU, KPUD, Panwaslu, hingga Mahkamah Konsitusi, yang pembentukannyapun baru beberapa bulan yang lalu, dengan seksama mengelola ketidakpuasan itu sehingga menghasilkan keputusan yang diterima semua pihak.
Proses Pemilu memang masih akan berjalan sekitar tiga bulan lagi hingga terbentuknya Pemerintahan baru hasil Pemilu 2004 serta dilantiknya seluruh anggota legislatif periode 2004 – 2009. Bila dilihat dari jumlah pemilih dan letak geografis Indonesia, maka pemilu yang telah diselenggarakan di Indonesia merupakan pencapaian yang luar biasa dalam sejarah demokrasi di dunia. Setelah merdeka, dalam waktu hanya 59 tahun, rakyat Indonesia sudah dapat memilih para wakilnya serta presiden/wakil presiden secara langsung.
Bandingkan dengan Amerika Serikat yang baru melakukan hal tersebut setelah satu abad lebih.Para pemilih di Indonesiapun sekarang cenderung bersikap rasional dalam memberikan suaranya dan tidak melulu berdasarkan keterikatan emosional, primordial, maupun keyakinan turun-temurun terhadap satu partai tertentu. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemilu lalu yang melahirkan banyak kejutan.
Pemilu yang aman dan damai dapat dirasakan oleh bangsa ini karena komitmen dari semua pihak untuk mensukseskan pemilu 2004. Keadaan inipun tidak terlepas dari sikap proaktif TNI dalam mengamankan pemilu 2004 sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Menarik untuk disimak, posisi TNI yang sejak semula menyatakan dengan tegas netralitasnya dalam pemilu ini. TNI telah memastikan untuk bersikap netral dan tidak partisan dalam Pemilihan Umum 2004. Reposisi ini kembali ditegaskan oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dalam perayaan Ulang Tahun ke-58 TNI, 5 Oktober silam. Dalam berbagai kesempatanpun Panglima menyatakan netralitas TNI, bahkan untuk mendukung dan mensosialisasikan komitmen netralitas tersebut, TNI perlu mengeluarkan buku pedoman tentang Netralitas TNI pada Pemilu 2004.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, Puspen TNI telah melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota TNI. Sosialisasi netralitas TNI dilakukan dengan cara memberikan ceramah-ceramah keliling dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait seperti Badan Pembinaan Hukum, Pusat Kesehatan serta Pusat Pembinaan Mental Mabes TNI. Kegiatan sosialisasi tersebut dilaksanakan secara menyeluruh di satuan-satuan dalam jajaran TNI baik Angkatan Darat, Laut maupun Udara yang telah dilaksanakan pada akhir Maret lalu. Tetapi bukan berarti komitmen netralitas TNI ini berjalan dengan mulus tanpa masalah.
Ketegasan komitmen TNI diuji dalam kasus Al-Zaytun, dimana terjadi pengerahan masa dengan menggunakan fasilitas bus milik TNI. Terhadap kasus ini, Pimpinan TNI bertindak dan memberikan sanksi kepada para pengemudi supir bus Mabes TNI yang mengangkut para pemilih dari Jakarta ke Pesantren Mah'ad Al- Zaytun. Panglima pun secara tegas mencopot seorang perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel dari jabatannya. Peristiwa Al-Zaytun menjadi bukti bahwa institusi dan kepemimpinan formal TNI serius menegakkan disiplin dan martabatnya.
Tetapi dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa pelanggaran terhadap kebijakan netralitas ini dapat terjadi dalam bentuk yang lebih tersembunyi yang dilakukan dengan cara-cara yang lebih halus dan mungkin saja melibatkan pejabat TNI dalam pangkat yang lebih tinggi (lazimnya semakin tinggi pangkat dan jabatan, tingkat permainannya semakin canggih). Justeru tantangan terbesarnya adalah mengungkap dan menindak pelanggaran terhadap asas netralitas TNI yang melibatkan personil pada posisi yang lebih tinggi.
Dalam proses demokratisasi menuju civil society, TNI memang dihadapkan dengan dilema yang tidak mudah. Di satu sisi, TNI harus meninggalkan dwifungsinya secara total, mereduksi peran politiknya, dan kembali pada fungsinya sebagai alat pertahanan, dan lebih berfokus pada upaya membangun profesionalisme. Di sisi lain, peran sipil di negara ini belum sepenuhnya menguat, bahkan dapat dinilai para politisi sipil kita lebih gemar "berpolitik", merebut atau mempertahankan kekuasaan, daripada "melaksanakan politik" sebagai suatu cara untuk memperjuangkan kebaikan bersama.
Dari persoalan mendasar ini, TNI harus mengambil langkah fundamental guna mereformasi diri, yakni melakukan reposisi, termasuk menghapus dwifungsi, dan membangun profesionalitas dengan bersikap netral. Oleh karena itu yang bisa kita harapkan adalah kesadaran untuk menjadikan netralitas sebagai sikap mental yang melekat. Bukan karena diawasi, tetapi karena sepenuhnya sadar bahwa martabat dan masa depan TNI sedang dipertaruhkan. Kesadaran ini juga tidak terlepas dari perubahan di tanah air yang melahirkan zaman yang serba telanjang, yang ditandai dengan kebebasan pers yang luar biasa.
Dan hanyalah masalah waktu, bila terjadi penyimpangan sekecil apapun ataupun kemiringan tersembunyi apapun, cepat atau lambat akan terkuak. Bila tidak sekarang terkuak, mungkin pekan depan akan terkuak. Bila tidak pekan depan, mungkin tahun depan akan terkuak, dan begitu seterusnya. Kondisi obyektif dari zaman keterbukaan inilah yang melahirkan lingkungan kondusif untuk sikap netral TNI.
Kita berharap betul posisi netralitas TNI ini menjadi bagian dari culture para prajurit dari level bawah hingga atas. TNI yang netral nantinya merupakan bagian dari landscape politik baru yang sedang dibangun bersama. Landscape politik baru merupakan hasil interaksi antar komponen bangsa yang seluruhnya harus berupaya sekuat tenaga kembali ke tracknya masing-masing. Kembali pada posisi, kedudukan, tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya.
Berdasarkan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 TNI merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan tugas pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan kata lain, tugas TNI bukan untuk menjaga pemerintah agar terus berkuasa, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru, ataupun mendorong seseorang memperoleh kekuasaan, atau menjatuhkan kekuasaan seseorang.
Tugas-tugas ini menjadi bagian dari proses politik yang harus dikerjakan partai politik bersama-sama dengan rakyat sebagai konstituennya. Dengan TNI yang netral, tidak saja wibawa TNI akan terjaga, tetapi kualitas demokrasi akan lebih terjaga. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam periode transisi ini, institusi TNI masih tetap diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan politik.
Namun jika kita konsisten dengan proses demokratisasi, kita perlu mendorong seluruh komponen bangsa untuk turut menjaga keutuhan TNI dan meletakkannya pada posisi sesuai dengan peran dan tugasnya. Kepada para pemimpin di TNI perlulah kita terus menerus menyeru bahwa negara butuh TNI yang kuat, yang berwibawa, dan yang bermartabat. Umur bangsa ini jauh lebih panjang dari umur partai-partai, apalagi umur para calon presiden dan para pendukungnya. TNI yang menjadi milik bangsa, harus diselamatkan. Hanya dengan TNI yang netral dan kuat secara institusi, keutuhan bangsa ini akan terjaga.
Pemilu yang damai akan terwujud dengan dukungan hankam yang netral. Bukan hanya damai itu indah. Tetapi juga, netral itu indah. Percayalah.
* Pernah dimuat di Suara Pembaruan – Jum’at, 30 Juli 2004