a a a a a a a a a a a a a a a
MEMBACA ITU (TAK) SULIT
Blog

Blog

Home /
/ MEMBACA ITU (TAK) SULIT
MEMBACA ITU (TAK) SULIT

MEMBACA ITU (TAK) SULIT

MEMBACA ITU (TAK) SULIT. DPR baru saja mensahkan RUU Ciptaker bulan Oktober ini. Saat RUU diketok untuk disahkan, beredar kabar RUU itu memuat 900 halaman lebih. Lalu muncul berita mengenai banyaknya versi halamanan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Terakhir, naskah UU Ciptaker yang diterima setebal 1.187 halaman. Sebelum draf 1.187 halaman itu beredar, terdapat sejumlah draf RUU Cipta Kerja antara lain, setebal 1.082 halaman, 905 halaman, 1.035 halaman, dan 812 halaman.

Para pendukung dan pengkritik RUU tersebut saling menuding apakah sebenarnya sudah membaca UU tersebut. Bahkan, sebagian netizen juga menyangsikan jangan-jangan anggota DPR dan para pembuat kebijakan yang terkait dengan UU tersebut tidak membaca seluruhnya.

Membaca nampaknya menjadi hal yang sulit di negara ini. Sudah banyak riset yang menunjukkan rendahnya minat baca orang Indonesia. Ada beberapa riset yang sering kali dikutip pemerhati pendidikan. Misalnya saja data yang dikeluarkan CSM. Perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan hasil, jumlah buku di Amerika yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku. Sastrawan kondang Taufik Ismail menyebutnya dengan Tragedi Nol Buku. Penelitian UNESCO pada tahun 2014 mengenai minat baca menyebutkan bahwa anak-anak di Indonesia hanya membaca 27 halaman buku dalam satu tahun. Menyedihkan memang.

Selain minat baca yang minim, juga tidak didukung dengan kecilnya jumlah toko buku, percetakan, dan perpustakaan yang ada di tanah air. Total jumlah toko buku yang ada di Indonesia sekitar 700 toko buku. Ada yang menyebut sekitar 350 toko buku. Pembeli buku diperkirakan mencapai 10 juta. Sementara jumlah percetakan mencapai lebih dari 6.000 perusahaan. Dan jumlah perpustakaan mencapai 3.500 lebih perpustakaan. Mungkin data itu berubah seiring pandemi yang terjadi di negeri ini.

Apakah demikian sulitnya membaca bagi orang Indonesia? Apakah terlalu menyita waktu bila hal itu dilakukan? Segudang manfaat dari membaca. Tak hanya sekedar dari tidak tahu menjadi tahu. Penelitian juga membuktikan bahwa membaca dapat memperpanjang umur dan memperlambat kepikunan.

Kemampuan membaca rata-rata orang dewasa berkisar 250 hingga 300 kata per menit (kpm). Itu setara dengan tiga paragraf walau pemahaman yang dibacanya tak sampai seratus persen. Tiap orang tentu berbeda. Tapi mari kita asumsikan saja demikian. Dua ratus lima puluh hingga tiga ratus kata kira-kira setara seperempat halaman buku. Artinya, seseorang membutuhkan tiga hingga empat menit untuk membaca satu halaman. Dan dua puluh jam untuk menyelesaikan satu buku setebal tiga ratus halaman. Dua puluh jam itu tentu saja artinya nonstop membaca. Tidak diselingi makan, minum, tidur atau bercinta. Jadi bayangkan, bila harus membaca RUU setebal 900 halaman. Hitung sendiri deh berapa waktu yang dibutuhkan. Bila membaca buku, sekelas jurnal misalnya yang tebalnya sekitar 50 halaman saja sulit atau malasnya minta ampun, bagaimana yang ribuan halaman?

Lantas bagaimana caranya merangsang orang Indonesia agar gemar membaca? Padahal orang Indonesia mampu berjam-jam di depan gadget alias gawai. Bila bermain dengan gawai saja bisa memakan waktu yang lama, logikanya, untuk membaca buku bukan menjadi masalah. Konsep High-Context & Low-Context Culture dari Edward T. Hall menjelaskan bahwa budaya high context memang cenderung semua tidak tertulis namun terucap. Nah, kebetulan budaya kita memang high context.

Tapi, kenapa membaca saja jadi hal yang sulit? Sebenarnya itu tugas kita bersama untuk dipikirkan dan direnungkan. Tapi pastinya pemangku kebijakan di atas yang harus merumuskan dan mencari formula yang tepat. Tapi setidaknya, beberapa civil society yang peduli akan hal tersebut sudah memulainya. Saat tugas ke Brebes, kami mengundang Litt & Coffee untuk sharing dan berbagi cerita. Litt & Coffee bertujuan mendekatkan buku bacaan kepada semua lapisan masyarakat agar mereka dapat meningkatkan wawasan melalui kebiasaan membaca. Tak hanya itu, mereka juga memberikan keterampilan menulis, mendongeng, dan kegiatan lainnya. Wujud kepedulian mereka dikonkretkan dengan membuat perpustakaan keliling dengan mobil boks. Sungguh mulia. Jadi mari budayakan budaya membaca. Ingat, buku baru adalah buku yang belum pernah Anda baca. Tak penting bagaimana caranya Anda membaca atau dimana membaca. Mau di kamar, di ruangan, di kasur, atau di atas genteng sekalipun. Nah, sekarang saya ingin bertanya, sudahkan Anda baca buku hari ini?



KOMENTAR