a a a a a a a a a a a a a a a
MENGELOLA PASAR TRADISIONAL DI JAKARTA
Blog

Blog

Home /
/ MENGELOLA PASAR TRADISIONAL DI JAKARTA
MENGELOLA PASAR TRADISIONAL DI JAKARTA

MENGELOLA PASAR TRADISIONAL DI JAKARTA

MENGELOLA PASAR TRADISIONAL DI JAKARTA
Oleh: Sonny Wibisono *

Pesta Diskon Jakarta atau yang dikenal dengan Jakarta Great Sale (JGS),yang telah berlangsung sejak 14 Juni silam berakhir pada Rabu, 14 Juli ini. Gelaran diskon yang diselenggarakan Pemprov DKI bekerjasama dengan puluhan pusat perbelanjaan yang tersebar di seantero Ibukota ini memang dimaksudkan untuk merayakan HUT ke 477 Kota Jakarta. Tidak mengherankan bila Pemprov DKI melakukan gelaran diskon selama sebulan penuh tersebut, mengingat salah satu pilar ekonomi DKI Jakarta atau dalam spektrum lebih luas, ekonomi negara ini, memang masih bertumpu pada bisnis ritel. Bisnis ritel diakui saat ini memang memberi kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi. Sayangnya memang pesta ini tidak melibatkan satupun pasar tradisional yang ada di Jakarta. Walaupun saat ini di Jakarta tercatat 152 mal, 126 toko serba ada (Toserba) dan 152 pasar tradisional, pertumbuhan pusat perbelanjaan di Jakarta masih terus saja berlangsung. Jumlah pasokan baru pusat perbelanjaan hingga tahun 2004 diperkirakan mencapai sekitar 362.880 meter persegi. Proyek-proyek baru itu kebanyakan merupakan proyek strata titleatau sewa jangka panjang. Bila seluruh proyek sesuai jadwal maka total pasokan kumulatif hingga tahun 2004 diperkirakan mencapai kurang lebih 1,96 juta meter persegi.Tetapi apakah memang Jakarta masih kekurangan akan ketersedian pusat belanja? Dalam suatu kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menegaskan bahwa pusat perbelajaan yang ada masih belum mencukupi kebutuhan penduduk Jakarta. Menurut pihak Dinas Tata Kota DKI, Jakarta masih membutuhkan 200-an lagi pusat perbelanjaan. Hal ini mengacu pada perbandingan antara jumlah pusat perbelanjaan yang ada dan jumlah penduduk Jakarta yang mencapai 12 juta jiwa.

Di satu sisi, perkembangan pusat perbelanjaan, mulai dari hypermarket, supermarket, minimarket hingga toserba, akan menguntungkan bagi konsumen, karena semakin tersedia banyak pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antar pusat perbelanjaan dan juga antar pengecer juga akan menguntungkan karena mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik dan harga yang bersaing. Akan tetapi di sisi lain, pembangunan pusat belanja atau biasa kita kenal dengan mal tersebut, menimbulkan kekawatiran bagi para pedagang tradisional di Jakarta. Berbagai hasil penelitian menunjukkan, pengunjung pasar tradisional, termasuk milik PD Pasar Jaya terus menurun, khususnya mereka yang hendak berbelanja barang kebutuhan rumah tangga. Hal ini wajar, mengingat apa yang tersedia di pasar tradisional, akan dijumpai pula di pusat perbelanjaan tersebut. Kesan kumuh dan jorok terhadap pasar tradisional masih melekat di kalangan konsumen. Dan tentu saja, semua segmen pasar termasuk golongan menengah ke bawah telah digarap oleh para peritel modern tersebut.

Oleh karena itu,Pemprov DKI perlu memikirkan kelangsungan hidup pedagang pasar tradisional yang menyangkut hajat hidup banyak keluarga. Mengingat saat ini terdapat lebih dari 70.000 pedagang yang menempati tempat usaha di lebih dari 100.000 kios yang tersebar di 152 pasar tradisional di Jakarta. Pemihakan Pemprov kepada pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier. Pemprov DKI juga perlu mengkaji ulang aturan mengenai zoningyang selama ini diterapkan, yaitu jarak antara ritel modern dengan pasar tradisional. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) seperti SKB No.154/MPP/Kep/5/97 dan No.57/1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan yang kemudian diimplementasikan dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur, No. 1930/1997, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengusahaan Perpasaran Swasta di DKI Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur tersebut, jarak radius minimum antara peritel modern dengan peritel tradisional yang mempunyai luas usaha 200 meter persegi jarak radiusnya adalah 500 meter, untuk luas usaha antara 200-1.000 meter persegi jaraknya antara 500-1.000 meter atau 1 km dari pasar tradisional. Hal ini berakibat peritel menengah (supermarket), jaringan minimarket dan peritel besar yang mempunyai ukuran di atas 4.000 meter persegi (hypermarket) berjarak sangat dekat dengan pasar tradisonal, koperasi dan peritel kecil lainnya.

Kebijakan lainnya dalam melindungi para pedagang pasar tradisional ialah melarang penjualan produk sejenis saat berlangsungnya pameran di pusat perbelanjaan. Kebijakan atau aturan tentang standar harga eceran tertinggi-terendah juga harus dipatuhi para pelaku pasar. Hal ini sangat penting, disamping ada kepastian soal harga, juga agar para peritel khususnya peritel besar untuk tidak menjual item barang di bawah harga standar (dumping) yang sebenarnya bertujuan menarik konsumen, tetapi sekaligus mematikan para pesaing terlebih lagi para pedagang pasar tradisional.

Sebagaimana di sejumlah negara maju, pasar tradisional tetap ada dengan sebutan wet market,akan tetapi telah ditata sedemikian rupa sehingga lebih menarik. Wet markettersebut memiliki kelebihan yang tidak mungkin dimiliki peritel modern. Pihak manajemen PD Pasar Jaya juga harus terus menggali dan memelihara setiap potensi yang ada di sejumlah pasar tradisional miliknya untuk dikembangkan, sehingga memiliki keunggulan spesifik yang tidak dimiliki ritel lainnya. Adapun bebarapa pasar tradisional yang telah memiliki keunggulan spesifik antara lain Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosir dan produk tekstil, Pasar Cipulir sebagai pusat pakaian berbahan jeans, Pasar Glodok sebagai pusat elektronik, Pasar Rawabelong sebagai pusat bunga dan tanaman, Pasar Jatinegara sebagai pusat kerajinan batu, Pasar Pramuka sebagai pusat obat-obatan, dan Pasar Rawasari sebagai pusat keramik dan ubin. Pihak PD Pasar Jaya pun perlu melakukan terobosan-terobosan dalam mengembangkan pasar tradisional miliknya. seperti dilakukan promosi dalam upaya menarik para konsumen. Modernisasi pasar tradisional juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Penataan kawasan sekitarnyapun harus turut mendapat perhatian, termasuk di dalamnya mengenai masalahlalu lintas, sarana transportasi, serta situasi di dalam dan luar pasar.

Pada akhirnya pembangunan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Kota Jakarta harus dapat dinikmati oleh segenap warganya. Masyarakat Ibu Kota memang membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada pemerataan pendapatan. Oleh karenanya, keberadaan pasar tradisional bukan hanya harus dipertahankan, tetapi juga harus dikembangkan dan dikelola ke arah yang lebih baik.

* Pernah dimuat di Harian Jakarta - Rabu, 14 Juli 2004
KOMENTAR