PENANGANAN ANAK JALANAN DI JAKARTA Oleh: Sonny Wibisono *
Apa yang tersisa dari perayaan Hari Anak Nasional 23 Juli lalu yang diperingati setiap tahunnya? Hampir tidak ada. Anak yang kurang mampu, terlebih lagi anak jalanan di Jakarta, mendapatkan perhatian khusus pada hari-hari tertentu saja. Selain perayaan Hari Anak, perhatian juga ditujukan kepada mereka disaat bulan Ramadan dan Hari Raya. Selepas itu, mereka kembali terpinggirkan dan kembali mengarungi kerasnya kehidupan di jalanan kota Jakarta.
Berdasarkan data Dinas Bina Mental dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah anak jalanan yang terdata per Juni 2003 mencapai 7.991 jiwa, terdiri atas Jakarta Pusat 2.500, Jakarta Utara 1.130, Jakarta Barat 1.302, Jakarta Selatan 555, dan Jakarta Timur 2.504. Secara nasional, diperkirakan jumlah anak jalanan mencapai ratusan ribu mengingat data yang terhimpun di 12 kota di Indonesia saja saat ini mencapai 47.000 anak.
Empat penampungan yang tersebar di Jakarta sudah tidak sanggup lagi untuk menampung para anjal yang setiap tahunnya selalu bertambah. Fenomena anak jalanan (anjal) merupakan ekses dari lingkaran setan kemiskinan bangsa Indonesia.
Anak jalanan sendiri merupakan sebuah subkelompok masyarakat yang memiliki ukuran norma dan nilai yang berbeda dengan subkelompok masyarakat lainnya. Namun pada dasarnya mereka memiliki kerekatan emosional yang cukup kuat dengan sesama temannya.
Yang dimaksud anak jalanan disini adalah anak-anak hingga usia 18 tahun yang menggunakan jalan sebagai wilayah mencari nafkah. Umumnya mereka bekerja sebagai pedagang asongan, pengamen, penyemir sepatu, dan penjaja koran. Ada pula mereka yang ‘dipekerjakan’ sebagai pengemis.
Lahirnya anjal disebabkan oleh banyaknya faktor, tetapi yang paling mendominasi adalah faktor ekonomi. Keberadaan mereka di jalanan sangatlah berisiko. Kekerasan setiap saat mengintai mereka, baik dalam hal fisik, mental, psikologi maupun kekerasan seksual yang tentunya sangat merugikan mereka. Selain itu, merekapun kehilangan kesempatan untuk menikmati masa kanak-kanaknya, kehilangan kesempatan pendidikan, kesehatan, bantuan hukum, dan utamanya kasih sayang.
Stigma atau pandangan masyarakat terhadap anjal, memperparah beban yang harus mereka tanggung. Anjal sering dianggap sebagai sumber pengganggu ketertiban umum yang harus segera disingkirkan. Kehadiran penghuni jalanan, yang oleh pemerintah disebut penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), memang ada kalanya meresahkan masyarakat, apalagi jika ada yang sampai bertindak kriminal.
Banyaknya keluhan masyarakat membuat Dinas Bintal Kesos DKI Jakarta melakukan penertiban terpadu bekerja sama dengan Polda Metro Jaya dan Dinas Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat DKI Jakarta.
Lalu siapa yang sesungguhnya paling bertanggung jawab terhadap masalah anak di negeri ini? Orang tua, masyarakat ataukah Pemerintah? Dalam UUD sendiri, sesungguhnya telah tercantum pasal bahwa negara mengakui eksistensi dan berkewajiban mengurus anak-anak telantar. Sedangkan UU Nomor 20/2002 menjelaskan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya.
Dengan kata lain, bukan hanya Pemerintah saja yang harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak Indonesia, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Pasal 88 menyebutkan, setiap orang yang mengeksploitasi secara ekonomi atau seksual terhadap anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana penjara kurungan 10 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta. Sementara Pasal 80 menyebutkan, setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan terhadap anak dipidana penjara kurungan selama tiga tahun enam bulan atau membayar denda paling banyak Rp 72 juta.
Dalam pembinaan dan penanganan anjal diperlukan upaya khusus yang intensif dan integral sesuai dengan kebutuhan serta karakter anjal yang cenderung berbeda dengan kebanyakan anak-anak yang hidup dalam lingkungan keluarga sendiri dan kehidupan yang normal. Pendekatannyapun lebih ditekankan bersifat persuasif. Kita semua harus terbuka mendengarkan keluhan, harapan, dan impian-impian anak-anak tersebut, dan bukan malah membungkam pikiran dan kreativitas anak-anak jalanan tersebut.
Penyadaran terhadap hak anak terutama ditujukan kepada orang tua bahwa hak-hak dasar anak harus dihargai dan dipenuhi yaitu bermain dan belajar dan bukan mencari nafkah. Dalam penertiban, pembinaan dan penanganan yang dilakukan oleh aparat terkait, hendaknya aparat mengedepankan prinsip-prinsip non-diskriminasi terhadap anak-anak jalanan untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dan memberikan perlindungan yang memadai kepada mereka serta penghargaan terhadap pendapat anak, serta kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap kebijakan dan langkah yang diambil.
Menangkapi mereka untuk kemudian melepaskannya kembali juga tidak akan menyelesaikan akar dari substansi masalah itu sendiri. Bakat dan keterampilan mereka harus digali dan dikembangkan, agar setelah mereka kembali kemasyarakat dapat hidup secara normal atau mandiri bagi mereka yang menginjak dewasa.
Dalam anjalpun dikenal pula posisi dan peran senioritas dalam menghadapi suatu masalah. Posisi dan peran inilah dapat dijadikan sebagaientry pointdalam membantu mereka dengan segala permasalahan, yang sering disebut sebagai peer educator. Penanganan kerjasama dengan mereka harus dapat dioptimalkan sebaik mungkin.
Dukungan semua pihak lainnya, merupakan hal yang mutlak dalam penanganan anjal. Pembinaan anjal dapat dibangun melalui jaringan antar pemangku kepentingan secara terpadu dan juga kerjasama pihak-pihak terkait dan peduli, seperti Pemda, LSM, yayasan, Bazis, tempat ibadah, lembaga sosial, pondok pesantren, panti sosial, dan juga masyarakat luas.
Melibatkan anjal dalam rangka menyusun model penanganan mereka sendiri perlu ditempatkan dalam perspektif mereka, sebab anjal juga mempunyai hak dilibatkan sebagai subjek untuk didengar pendapatnya.
Faktor ekonomi yang menjadi pemicu utama lahirnya anjal menyebabkan terjadinya gapyang lebar antara pihak si kaya dan si miskin, yang tentu saja hal ini harus dijembatani. Oleh karena itu perlu digalangkan dan dikelola orang tua asuh bagi masyarakat yang mampu untuk membiayai, menyekolahkan, membina dan mengasuh anak-anak jalanan dan telantar di kota Jakarta. Hal ini harus dikoordinasikan dan disosialisasikan dengan baik dengan semua pihak yang terkait.
Biar bagaimanapun juga, anak jalanan yang tersebar diseantero negeri ini merupakan bagian dari anak bangsa, yang memiliki hak-hak dasar untuk hidup lebih layak dan terhormat.