/ SEORANG SOEHARTO DAN KISAH RIBUAN PENGRAJIN TEMPE
SEORANG SOEHARTO DAN KISAH RIBUAN PENGRAJIN TEMPE
Seorang Soeharto dan Kisah Ribuan Pengrajin Tempe Oleh: Sonny Wibisono, penulis tinggal di Jakarta
SEJAK bekas Presiden Soeharto masuk kembali RS Pertamina, Jumat, 4 Januari lalu, tak henti-hentinya media massa cetak dan elektronik memberitakannya. Tidak saja media elektronik yang berlomba-lomba memberitakan keadaan kesehatan Pak Harto yang sudah kritis, acara infotainment yang biasanya diisi oleh gosip selebriti pun ikut memberitakan kondisi terakhir mantan Presiden yang pernah berkuasa selama lebih dari 30 tahun tersebut.
Kesibukan pun terjadi hingga ke pelosok. Selain Pemerintah Pusat, Pemda pun dibuat sibuk dengan kondisi tersebut dan mempersiapkan segala sesuatunya hingga kemungkinan terburuk sekalipun. Malah, di Solo, kartu pengenal untuk acara pemakaman Soeharto pun sudah dibagikan (Tempo, Edisi-47/2008). Berkali-kali sudah Pak Harto masuk rumah sakit, dan memang inilah yang paling parah. Segala sesuatunya harus segera dipersiapkan, termasuk keadaan yang buruk sekalipun, yakni bila Pak Harto berpulang.
Namun apakah memang masalah Soeharto harus mendapatkan prioritas daripada masalah lainnya? Apakah tidak ada urusan kenegaraan lain yang lebih penting lagi yang harus segera dibenahi ketimbang hanya sibuk mengurusi satu orang saja?
Dalam beberapa media dikabarkan, rapat evaluasi di sejumlah departemen yang pekan lalu intens dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla tampak terhenti. Bahkan sejumlah agenda Presiden dan Wapres yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya dibatalkan atau ditunda. Presiden Yudhoyono membatalkan beberapa agenda kunjungannya di Malaysia dan memilih mempercepat kepulangannya ke Tanah Air, Sabtu (12/01/08) lalu. Kondisi kesehatan Soeharto yang berusia 86 tahun itu membuat Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Myanmar sepakat menunda kunjungan Wakil Perdana Menteri Myanmar Thein Sein, 14-15 Januari 2008. Menurut Jubir Kepresidenan Dino Patti Djalal, penundaan kunjungan yang sudah lama direncanakan ini dilakukan mengingat situasi psikologis di Indonesia terkait dengan kondisi kesehatan Soeharto. (Kompas, 15/01/08). Wapres sami mawon. Dia pun membatalkan rencana kunjungan kerjanya ke Riau pada hari yang sama. Seminggu sebelumnya (05/12), Presiden dan Wapres menggelar jumpa pers bersama, yang dihadiri pula oleh sejumlah Menteri. Presiden mengatakan Pemerintah berketetapan agar Soeharto sebagaimana para mantan pemimpin negara lainnya selalu mendapatkan bantuan kesehatan yang terbaik.
Benarkah ini terjadi semata karena Pak Harto orang besar di negeri ini. Tidak juga, ternyata. Mari kita lihat dalam kasus penculikan Raisya yang meledak Agustus tahun lalu. Tak urung, Presiden dan Wakil Presiden pun memberikan respons terhadap kasus ini. Bahkan Presiden mengimbau dan meminta dengan sangat pada siapa pun yang membawa Raisya agar mengembalikan dengan selamat kepada orang tuanya maupun tempat lain yang aman, di mana Raisya bisa kembali kepada keluarganya (Tempo Interaktif, 23/08/07). Presiden juga mempersilakan bila penculik hendak menyerahkan Raisya lewat pemerintah agar menghubungi nomor telepon Mutia Hatta. Imbauan Presiden tersebut disampaikan secara mendadak. Tidak ada jadwal acara untuk memberikan keterangan pers mengenai penculikan Raisya. Raisya akhirnya ditemukan dengan selamat. Biar bagaimanapun, kita harus apresiasi terhadap hasil kerja keras aparat berwajib mengungkap kasus ini. Keberhasilan polisi menemukan Raisya membuat Presiden dan Wapres mengundang Raisya dan orang tuanya ke Istana Presiden dan Wakil Presiden. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh Presiden dan Wakil Presiden terhadap kasus penculikan lain sebelum kasus penculikan Raisya terjadi.
Sebenarnya, tidaklah salah bila seorang pemimpin memperhatikan nasib rakyatnya. Itu memang tugas dan kewajibannya. Tetapi menjadi pertanyaan ketika tindakan Presiden dan Wapres tersebut hanya berlaku pada satu kasus saja. Padahal selama kurun waktu Juni hingga Agustus 2007, Polda Metro Jaya menerima laporan 14 kasus penculikan. (Detikcom, 20/08/07). Jangan lupa, 14 kasus tersebut hanya terjadi dalam waktu rentang 3 bulan dan hanya terjadi di Jakarta, belum lagi di kota-kota lainnya dan waktu sebelum Juni 2007.
Tak heran bila publik bertanya-tanya mengapa hanya pada kasus Raisya saja Pemerintah begitu reaktif dan peduli? Mengapa pada kasus-kasus penculikan sebelumnya Pemerintah tidak mengadakan jumpa pers atau mengundang korban penculikan dan keluarganya untuk datang ke Istana Presiden/Wapres setelah kasus tersebut terungkap?
Pemerintah seharusnya menempatkan suatu kasus atau masalah dengan proporsional. Tak perlu berlebihan dan sesuai hukum dan koridor yang berlaku. Bahwa mantan Presiden Soeharto harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik dan layak, memang sudah seharusnya dilakukan, karena memang diatur oleh undang-undang. Hal yang sama seharusnya juga berlaku bagi mantan Presiden dan Wakil Presiden yang lain. Karena diberitakan bahwa keluarga Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengalami kesulitan dalam mengurus pengobatan ketika Abdurrahman Wahid sakit.
Pada saat Pemerintah disibukkan dengan kondisi Soeharto, saat yang bersamaan (Senin, 14/01), para pembuat tahu dan tempe berunjuk rasa di depan Istana Merdeka. Diantara pengunjuk rasa tersebut, juga terdapat pemasok kebutuhan tempe bagi keluarga Soeharto. Mereka meneriakkan nasib nestapa mereka karena harga kedelai yang menggila. Akibat mahalnya harga kedelai, pembuat tahu dan tempe berhenti berproduksi untuk sementara waktu. Naiknya harga kedelai, jelas sangat memukul ribuan pengrajin tahu dan tempe di seluruh Indonesia. Seorang pengrajin tempe, dalam aksi unjuk rasanya didepan Istana mengatakan, ”Kedelai itu makanan rakyat kecil. Presiden pun makan tempe.” (Detikcom, 14 Januari 2008).
Wakil dari pembuat tahu dan tempe yang berunjuk rasa ’hanya’ diterima oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng di Gedung Bina Graha. Berdasarkan analisa dari Goldman Sachs Group Inc dan Deutsche Bank AG, sebagaimana diberitakan Bloomberg, harga kedelai saat ini merupakan angka tertinggi dalam 34 tahun terakhir, setelah pernah mengalami puncaknya pada tahun 1974.
Masalah-masalah yang tidak sepele dan melibatkan ribuan nasib rakyat bukan hanya melibatkan pengrajin tempe dan tahu saja. Misalnya saja dalam industri berbasis tepung terigu. Dalam dua tahun terakhir ini industri berbasis tepung terigu juga mengalami pukulan hebat. Pemicu utamanya adalah kenaikan harga gandum sebagai bahan baku produksi tepung terigu di pasar dunia. Hal ini tentu saja memukul para pengrajin berbahan baku tepung terigu, seperti industri roti misalnya.
Sebenarnya masih banyak masalah-masalah besar lainnya yang mendera bangsa ini dan perlu segera ditangani lebih cepat oleh Pemerintah. Pemerintah harus menempatkan skala prioritas dalam melihat dan menangani masalah-masalah tersebut. Memang, kemampuan pemerintah tidak sepenuhnya mampu menangani berbagai hal sekaligus. Namun, dalam hal menangani sakitnya Pak Harto, hingga membatalkan banyak acara yang sudah direncanakan sebelumnya, tampak berlebihan di mata publik.
Kasus Soeharto mungkin hanya sekadar masalah biasa yang dialami oleh rakyat Indonesia. Banyak masalah lainnya yang justru melibatkan nasib ribuan atau bahkan jutaan rakyat Indonesia. Hal itulah yang harus menjadi pusat perhatian Pemerintah. Pemerintah bukan hanya dituntut melaksanakan skala prioritas (priority improvement) dalam melihat dan menangani suatu masalah. Tetapi juga prinsip equity before the law, semua orang sama di depan hukum dan juga prinsip fairness, kesetaraan dan kewajaran, harus ditegakkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah tanpa pandang bulu.