a a a a a a a a a a a a a a a
Akhir Kisah Buaya Berkalung Ban
Message Of Monday

Message Of Monday

Home /
/ Akhir Kisah Buaya Berkalung Ban
Akhir Kisah Buaya Berkalung Ban

Akhir Kisah Buaya Berkalung Ban

Message of Monday – Senin, 14 Februari 2022
Akhir Kisah Buaya Berkalung Ban
Oleh: Sonny Wibisono *

“Don’t judge the book by its cover.”
-- Anonim

Lama tak terdengar kabarnya, buaya berkalung ban di Kota Palu kembali menjadi berita utama media nasional pekan lalu. Ya, buaya berkalung ban yang sempat membuat heboh warga Kota Palu, Sulawesi Tengah, akhirnya berhasil ditangkap. Buaya itu ditangkap di sekitar Jembatan Palu yang berada di Jl. I Gusti Ngurah Rai, Kota Palu, Senin, 7 Februari 2022 malam.

Buaya yang berada di Kota Palu itu sebenarnya merupakan hewan reptil biasa. Panjang buaya itu juga hanya 5 meter. Lumayan besar. Tapi kenapa membuat heboh warga Kota Palu, bahkan sampai membuat publik negeri ini geger dan menjadi sorotan dunia? Karena buaya itu memakai kalung ban.

Pada 2016, buaya berkalung ban viral di media sosial. Terlalu sulit untuk mencari tahu bagaimana sebuah ban bisa melilit leher buaya tersebut. Entah darimana ban itu berasal, itu juga gelap.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Palu, Sulawesi Tengah akhirnya mengadakan sayembara untuk menangkap dan membebaskan buaya yang terjerat ban bekas di lehernya itu. Jalan ini dipilih BKSDA Palu karena kekurangan staf untuk melakukan penyelamatan buaya tersebut. Nah, sejak sayembara digelar, berbagai upaya dilakukan untuk menolong hewan naas itu agar jerat ban bisa terlepas. Tapi semua upaya selalu gagal.

Beberapa penduduk setempat mencoba menangkapnya, tetapi tak berhasil. Ini dapat dimaklumi, mengingat mereka tak memiliki keahlian khusus dalam urusan menangkap satwa liar. Selain penduduk setempat, ahli satwa liar dari luar negeri pun mencoba menangkapnya. Banyak nama tenar yang muncul. Misalnya saja Matt Wright, pawang buaya asal Australia, yang juga seorang pembawa acara televisi National Geographic. Ia pernah mencoba menangkap buaya berkalung ban namun gagal. Padahal Wright bekerja menggunakan tim dan memakai peralatan canggih. Dengan kata lain, Wright tak bekerja sendiri.

Peralatan yang digunakan pun tak main-main, Wright memakai tombak, kerangkeng baja, hingga menerbangkan drone dalam upayanya menangkap buaya tersebut. Wright bahkan sampai dua kali datang ke Palu untuk mencoba menangkap buaya tersebut, tapi selalu gagal.

Ada juga nama yang tergolong kondang di tanah air, yakni Panji Petualang yang mencoba menangkap buaya tersebut pada 2018, tapi juga berakhir dengan kegagalan. Dan ada pula nama yang tak asing, Forrest Galante, seorang pembawa acara televisi Extinct or Alive on Animal Planet, yang juga berusaha menangkap buaya itu pada tahun 2020. Forrest tidak hanya dibantu tim dari Discovery Channel, tapi juga pakar buaya bernama Jamal yang ikut dalam timnya. Namun, upaya Forrest dan tim juga menemui jalan buntu.

Lantas, siapakah yang berhasil menangkap buaya tersebut? Buaya itu berhasil ditangkap oleh Tili, seorang warga asal Sragen, Jawa Tengah. Dari hasil wawancara, diketahui Tili merupakan penyayang hewan dan suka menolong satwa liar. Tili pun mengaku dirinya memiliki pengalaman dalam menangkap burung, ular, hingga buaya di tanah Jawa.

Memang ada cerita mistis pula dibalik penangkapan buaya tersebut. Tili sampai meminum air sungai di tempat buaya berkalung ban itu menetap. Ini dimaksudkan sebagai upaya pendekatannya dengan buaya. Terlepas dari ritual yang tak biasa itu, Tili menangkap buaya itu sebenarnya memakai cara dan perlengkapan yang sederhana saja. Yaitu dengan memakai umpan makanan dan tali. Ia hanya merogoh kocek sekitar 4 juta rupiah untuk semua itu.

Pertanyaannya, mengapa seorang Tili dengan peralatan seadanya mampu menangkap buaya berkalung ban yang fenomenal itu? Sementara yang lainnya menemui kegagalan walau menggunakan peralatan canggih sekalipun.

Ada banyak hal yang bisa didapat dari kisah Tili.

Pertama, dibutuhkan kesabaran dalam upaya penangkapan. Menangkap hewan liar nyatanya tak mudah. Tili memerlukan waktu sekitar tiga pekan lamanya. Sebelum benar-benar ditangkap Tili, buaya itu beberapa kali nyaris ditangkap tapi berhasil lolos.

Kedua, cara penangkapan yang dilakukan pun sebenarnya tak perlu dibuat rumit dan harus menggunakan teknologi canggih. Hanya menggunakan umpan makanan biasa dan tali yang kuat.

Ketiga, ini perlu digaris bawahi. Kehebatan pawang hewan lokal yang kita miliki sesungguhnya tak kalah dari luar negeri punya. Don’t judge the book by its cover. Begitu orang bule bilang. Tili bahkan mengakui awalnya sempat diremehkan banyak orang. Tapi ia tak mempedulikannya. Kita jangan terlalu terpaku dengan sesuatu yang wah dari luar. Jangan pula import minded, bahwa produk apapun dari luar negeri itu pasti wokeh. Nyatanya seorang Tili mampu membuktikan kepiawaiannya.

Dan ini juga yang penting. Selain kesabaran, dibutuhkan pula ketulusan dan keihklasan dalam mengerjakan segala sesuatu. Niat Tili sejatinya sungguh mulia, ia kasihan melihat buaya itu terjerat dari ban dan ingin membebaskannya. Karena memang pada dasarnya ia seorang penyayang hewan. Bukan karena ingin populer atau disorot oleh media. Faktanya tak banyak yang tahu aksi Tili selama menangkap buaya itu. Bahwa akibat aksinya ini ia menjadi terkenal, itu soal lain.

Pekerjaan, apapun itu, bila dilakukan dengan penuh kesabaran dan dilandasi dengan ketulusan dan keihlasan, setidaknya setengah jalan sudah terlampaui. Dan itu akan lebih memudahkan kita dalam menggapai hasil akhirnya. Sepakat kawan?

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Photo by Magda Ehlers from Pexels
KOMENTAR

Latest Post

Tergoda Isu ViralTergoda Isu Viral
Selamat Datang 2023Selamat Datang 2023!