Message of Monday – Senin, 5 April 2021 Apa yang Salah dengan Negeri Ini Oleh: Sonny Wibisono *
“Jadikan hidup Anda lebih bermakna, walau hanya sehari sekalipun, dengan mengedepankan etika, bukan hanya mengikuti peraturan belaka.” -- Wayne Dyer, pembicara dan penulis asal Amerika
Pernikahan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah saat akhir pekan lalu sukses mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Tak hanya diadakan megah di hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan, tapi juga disiarkan secara langsung di televisi dan dihadiri berbagai tokoh penting negeri ini. Tak berlangsung lama, berbagai komentar, kritik, sindiran langsung mewarnai dunia media sosial.
Berbagai kritik dilontarkan berbagai pihak kepada semua pihak yang terkait dengan acara tersebut. Komisi Penyiaran Indonesia, yang sudah tahu acara tersebut bakal disiarkan, dihujani protes dari netizen. Apa gunanya komisi itu dibentuk bila ternyata masih juga ada acara seperti itu, begitu komentar dari para netizen. Apa manfaatnya tayangan itu bagi masyarakat luas, begitu komentar netizen lainnya.
Para pejabat yang hadir pun tak luput dihujani kritik. Mereka dinilai tidak peka. Bukan soal boleh atau tidak boleh, tapi lebih kepada etis atau tidak etis. Walau prokes dikatakan telah dilakukan dengan ketat, tetap saja potensi bakal adanya kerumunan, dan faktanya memang terjadi kerumunan. Bila terjadi kerumunan, maka ada potensi terjadinya penularan covid. Saat masyarakat diminta untuk selalu menjaga kesehatan dan mematuhi prokes, justru para pimpinan mencontohkan yang sebaliknya.
Pihak orangtua mempelai dan calon pengantinnya sendiri, tak luput dari kritik pedas saat mereka mempertontonkan kemewahan di mata masyarakat luas. Lagi-lagi, bukan hanya karena boleh atau tidak boleh. Ya terserahlah, uang-uang mereka yang punya. Bebas melakukan apa saja. Tapi lebih soal kepatutan. Jika seandainya saja acara ini digelar dalam keadaan normal, sudah tentu mendapat kritik. Nah, apalagi ini, hajatan dilaksanakan saat negara, bahkan dunia dalam keadaan pandemi, saat banyak orang sulit mendapat pekerjaan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pihak televisi tak mau serta merta disalahkan. Mereka menyiarkan acara tersebut tentu karena bernilai jual. Nyatanya memang, acara ini ditonton banyak orang dan mendapat rating yang bagus. Hukum pasar jelas berlaku.
Dan yang paling menyedihkan tentu saja, acara ini mendapat sambutan dari para penonton Indonesia. Animo penonton begitu tinggi. Ini menjadi pertanyaan besar, mengapa masyarakat justru antusias dengan tayangan seperti ini. Apakah etika dan rasa empati telah hilang dari masyarakat kita? Duh, saya tidak tahu lagi harus berkata apa.
Bicara etika, sejatinya bukan bicara soal ’boleh’ atau ’tidak boleh’. Karena soal ’boleh’ atau ’tidak boleh’, hal itu telah diatur dalam peraturan. Bila Anda melanggar, Anda dikenakan sanksi. Tetapi saat bicara etika, maka kita bicara ’patut’ atau ’tidak patut’, ’pantas’ atau ’tidak pantas’. Dalam hal ini, etika lebih tinggi dari peraturan.
Dalam kehidupan sehari-hari, acap kali kita bersinggungan dengan etika, walau terkadang kita tidak menyadarinya. Misalnya saja, saat kita berulang tahun dan berencana mengajak rekan kantor untuk makan bersama, tapi ternyata pada saat yang sama, seorang rekan mengalami musibah kemalangan, ada keluarganya yang sakit atau meninggal. Tentu saja dalam konteks ini, merayakan ulang tahun apalagi makan bersama menjadi tidak tepat lagi. Akan lebih elok, bila uang yang tadinya direncanakan digunakan untuk makan bersama, diberikan kepada sang teman yang mengalami musibah tersebut untuk sedikit meringankan beban. Itu hanya satu contoh.
Pada akhirnya, karakter seseorang akan terlihat dari perilakunya dalam menjaga etika, lebih dari sekedar menaati aturan.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012