Message of Monday – Senin, 12 Juli 2010 Dari Kebayoran Baru dengan Parfum Oleh: Sonny Wibisono *
“If you are not prepared to be wrong, you will never come up with anything original.” -- Ken Robinson, penulis dan pembicara, asal Inggris
MENDEKATI jam setengah sembilan pagi, pesuruh kantor memanggilkan taksi pesanan kami. Tak kurang dari 10 menit, taksi berwarna biru itu sudah parkir di depan kantor. Jarak antara kantor dengan jalan raya memang tak terlalu jauh. Bersama dengan sang teman, kami segera meluncur ke daerah Kuningan.
Pada saat berada di dalam taksi, ada pemandangan yang tak biasa. Di samping pengemudi, puluhan parfum diletakkan berjejer secara rapi. Dari kemasannya, terlihat parfum merk branded. Kami langsung menduga bahwa sang sopir, selain berprofesi sebagai sopir taksi, juga melakukan sambilan dengan menjual parfum kepada penumpangnya.
Dugaan kami tak meleset. Setelah berjalan kira-kira 5 menit, barulah sang sopir membuka percakapan. Pertama ia berbasa-basi dahulu apakah kami menyukai parfum. Lalu ia menawarkan parfum-parfum tersebut. Bukan kualitas pertama memang, atau istilahnya kw1. Sang sopir menjamin bahwa barang yang dijajakannya masuk kategori kw2 alias sedikit di bawah kualitas pertama. Di sampingnya, ia hanya menyediakan beberapa contoh saja. Masih ada beberapa contoh lain di bagasinya.
Tak ada yang aneh. Hal yang biasa saja bila seorang sopir taksi menyambi pekerjaan. Menjadi mengesankan bagi kami ketika ia bercerita secara panjang lebar terhadap kerja sambilannya ini. Ia mengatakan bahwa dalam sehari, ia minimal dapat menjual 5 hingga 10 parfum. Dalam sebulan, ia dapat menjual hingga ratusan lebih, karena pelanggannya banyak. Biasanya mereka membeli secara borongan. Pelanggannya mulai dari pengusaha daerah hingga pramugari. Parfum ini lalu dijual kembali oleh mereka di pasaran.
Yang mengagetkan ialah bahwa pendapatan dari hasil menjual parfumnya selama sebulan hampir empat kali lipat dari penghasilannya sebagai sopir taksi. Ia menekuni hal ini semenjak dua tahun yang lalu. Lantas apa saja yang telah diperolehnya. Dari hasil penjualannya selama ini, ia telah membeli beberapa hektar sawah di kampungnya, merenovasi rumahnya, dan membeli dua buah rumah untuk dikontrakkan. Dan tak lupa, membeli sepeda motor. Ia pun berencana pergi ketanah suci agar dapat menunaikan ibadah haji.
Sambil terkagum-kagum, kami pun bertanya, jika sudah dapat menikmati hasil penjualannya seperti itu, mengapa tetap berprofesi sebagai sopir taksi. Mengapa tidak memfokuskannya saja menjual parfum-parfumnya. Ia pun menjawab, bahwa ia dapat menarik pelanggan dan pembeli parfum justeru ketika seperti saat ini. Tak mungkin katanya ia meninggalkan profesinya sebagai sopir taksi. Ia bakal kehilangan pelanggan, urai sang sopir.
Kedengarannya memang fantastis. Kisah sang sopir taksi lebih terdengar tak masuk akal. Pendapatannya mungkin akan membuat iri para sopir lain. Seorang teman malah berkata, ”Ah, namanya juga pedagang. Biasalah, siasat orang berdagang supaya laku.” Lalu ada pertanyaan lain, melakukan perniagaan di dalam mobil ketika sedang mengemudi, apakah diperbolehkan? Setidaknya tidak melanggar aturan di perusahaannya. Tapi mari kita asumsikan kita mempercayai cerita sang sopir. Lupakan sejenak aturan main perniagaan di dalam mobil yang diperbolehkan atau tidak. Hikmah apa yang dapat dipetik dari perjalanan Kebayoran Baru menuju Kuningan tersebut? Banyak.
Don’t judge by the cover, begitu kata orang bijak. Siapa sangka seorang sopir taksi mempunyai penghasilan setara dengan rata-rata gaji manajer sebulan. Penampilannya jelas tak menunjukkan hal itu. Di tengah aktifitasnya dalam mengemudi, ia masih sempat melakukan kegiatan lain yang lebih menguntungkan secara finansial, yakni berjualan. Sungguh kreatif. Kegigihannya menawarkan juga patut diacungi jempol. Ia masih memberi kesempatan bila sewaktu-waktu kami ingin membelinya secara eceran atau jumlah besar. Walaupun hanya membeli satu parfum, ia bersedia mengantarkannya ke tempat tujuan.
Menjual parfum di dalam taksi mungkin tidak hanya melanggar aturan perusahaan, tapi juga tidak lazim dilakukan para sopir taksi lainnya. Tapi mari ambil sisi positifnya. Sopir taksi telah berinovasi, melakukan entepreneur, walau skalanya kecil. Sebenarnya kita membutuhkan orang-orang seperti ini yang banyak.
Tak terasa, taksi yang kami tumpangi mendekati gedung yang kami tuju. Setelah membayar ongkos taksi sesuai argo, ia menyerahkan kartu namanya. Tak lupa ia menanyakan jaringan telepon nomor telepon kami. Rupanya ia sudah siap dengan calon pelanggan yang berbeda jaringan teleponnya. Ketika kami menyebutkan jaringan telepon yang kami pakai, ia pun memberikan nomor telepon yang sama dengan jaringan telepon kami. Ah, luar biasa.