Message of Monday – Senin, 12 April 2021 Energi untuk Memaafkan Oleh: Sonny Wibisono *
“Baik untuk memaafkan, lebih baik lagi untuk melupakan.” -- Robert Browning, penyair, 1812-1889
Meminta maaf memang sulit dilakukan, tapi jauh lebih berat untuk memberi maaf. Tepat tujuh tahun lalu, di pertengahan April 2014, seorang ibu yang putranya dibunuh oleh seorang lelaki di jalanan kota Iran, memaafkan sang pembunuh sesaat sebelum digantung.
Balal merupakan terpidana mati kasus pembunuhan. Pria berumur 20 tahun itu menusuk Abdollah Hosseinzadeh, 18 tahun, hingga tewas, di tengah perkelahian di jalanan kota Royan, Provinsi Mazandaran, Iran. Peristiwa itu sendiri terjadi tahun 2007. Balal kemudian melarikan diri. Polisi berhasil menangkapnya. Setelah melalui proses pengadilan, Balal pun dijatuhi hukuman mati di atas tiang gantungan. Hukuman mati akhirnya ditetapkan pada April 2014.
Balal, terpidana mati sudah berdiri di bawah tiang gantungan dengan tali telah melilit dilehernya dan mata tertutup. Pria itu mungkin sudah merasakan maut ditarikan nafas berikutnya, dalam hukuman mati yang siap dilakukan di muka umum.Di Iran berlaku hukum qisas. Utang emas dibayar emas, utang nyawa dibayar nyawa. Menurut aturan yang berlaku di Iran, keluarga korban boleh ikut andil dalam pelaksanaan hukuman mati dengan cara mendorong kursi sang terpidana yang berdiri dengan tali melilit di leher. Namun yang terjadi kemudian, membuat dunia terhenyak dan kaget. Begitu pula saat masyarakat Iran yang menyaksikan eksekusi tersebut. Di Iran, hukuman mati dipertontonkan di muka umum dengan maksud memberi efek jera. Ibu korban,Samereh Alinejad menghampiri Balal yang berada di tiang gantungan, lalu tiba-tiba menampar wajah terpidana dan kemudian memutuskan untuk memaafkan dia. Ayah korban pun melepas tali gantungan. Nyawa Balal diselamatkan. Ibu Balal lalu memeluk ibu pemuda sang pembunuh. Berdua mereka berpelukan dan menangis. Satunya karena kehilangan putranya, satunya lagi karena tetap bisa memiliki putranya.
Sebelumnya memang, ibu korban bermimpi bertemu dengan anaknya yang dibunuh. Sang Ibu melihat putranya yang terbunuh dalam mimpinya berkata mereka berada di tempat yang indah serta memintanya untuk tidak membalas dendam. Hal ini membuat tenang sang ibu dan bersama suaminya, mereka memutuskan untuk memikirkan lagi sampai hari eksekusi tiba. Diujung cerita kita tahu, mereka berdua akhirnya memaafkan sang pembunuh.
Tak ada yang indah sedikitpun bila kita bicara soal kebencian dan balas dendam. Bila kita menuruti ego, yang ada hanyalah marah dan luapan emosi semata. Ah, nampaknya mudah untuk diucapkan: maafkan dan lupakan saja. Kenyataannya, hal itu sulit dilakukan. Lantas, bagaimana caranya agar kita mudah memaafkan seseorang?
Lupakan segala kebaikan yang telah Anda lakukan kepada siapapun, dan ingatlah hanya kebaikan yang orang lain lakukan terhadap Anda. Sering kali kita mengingat kebaikan diri sendiri, tapi lupa kebaikan orang lain. Lebih sering bila kita mengingat orang lain yang pernah kita bantu, malah justru membuat kita makin sakit hati. Nah, paradigma berpikir itu harus dibalik.
Lalu, coba pikirkan sekali saja, apa untungnya bila kita tidak memaafkan orang yang mungkin telah menyakiti kita. Saat kita membencinya, jangan-jangan saat itu ia tertawa bahagia, dengan keluarga atau dengan kekasihnya sambil bergandengan tangan. Hal yang tak ada gunanya sama sekali. Bahkan menguras energi.
Dimanapun, orang yang memberi jauh lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang menerima. Banyak sudah penelitian yang membuktikan bahwa dengan memaafkan, membuat seseorang menjadi lebih bahagia.
Bagi umat muslim, sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah dan keagungan. Inilah momentum yang tepat untuk saling membersihkan diri. Mari saling meminta maaf dan memberi maaf. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Mohon maaf lahir dan batin.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012