Message of Monday – Senin, 25 April 2022 Gaya Milenial, Kelakuan Barbar Oleh: Sonny Wibisono *
“Mubazir itu temannya setan.” -- Anonim
Waktu menunjukkan pukul 3.30 pagi dinihari. Telepon di kamar hotel berdering keras. Receptionis membangunkan saya untuk sahur. Selama tiga hari dua malam, satu tugas membuat saya terdampar di Kota Tegal. Selama dua malam itu pula saya harus sahur di hotel. Dalam bulan Ramadhan, umumnya hotel menawarkan sahur sebagai pengganti sarapan bagi yang sedang berpuasa.
Saya pun segera beranjak menuju restoran yang terletak di lantai dua. Beberapa meja sudah diisi oleh tamu-tamu hotel yang melaksanakan ibadah sahur. Ada satu meja, yang sebenarnya bisa diisi empat orang, tetapi hanya diduduki oleh seorang lelaki muda. Umurnya mungkin sekitar 30-an. Gayanya seperti eksekutif muda. Jadi bisa dikatakan ia merupakan produk dari generasi milenial. Dilansir dari laman adeccousa.com, generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 hingga 1995.
Ia tampak menikmati nasi goreng yang ada dihadapannya. Di kursi sebelahnya, ada beberapa piring makanan yang berisi beberapa roti, buah, dan entah apalagi. Saya menduga, ia sedang menunggu kawannya untuk bergabung dengannya.
Saya sendiri memilih nasi goreng. Sebenarnya dalam beberapa hari ini saya tidak makan nasi. Pas hari itu baru saya makan nasi lagi. Bukan karena ada pantangan. Hanya ingin hidup sehat saja. Tiap bulan saya selalu rutin cek ke dokter untuk memeriksakan tensi, asam urat, kolesterol, dan kadar gula. Setahun sekali baru cek darah secara keseluruhan.
Sebelum berangkat ke Tegal, saya sudah memeriksakan diri ke klinik terdekat dari rumah. Hasilnya, tak ada hal yang perlu dikawatirkan. Semua normal. Sebenarnya saya tidak mempunyai masalah dengan kadar gula dan kolesterol. Hanya saja memang saya berusaha menghindari makanan yang berpotensi mengandung gula dan karbo, termasuk nasi. Saat terakhir memeriksakan diri, dokter malah menyarankan saya makan nasi, mengingat kadar kolesterol saya cukup rendah.
Ah, kembali lagi soal makanan di hotel. Nasi goreng yang saya santap ternyata rasanya hambar dan dingin. Untungnya, saya ambil sedikit saja. Saya duduk persis di depan lelaki yang saya sebut di atas tadi. Ternyata lelaki muda itu hanya seorang diri saja. Piring yang berisi roti ada dihadapannya sekarang.
Sampai ia selesai sahur, tak ada temannya yang datang. Semua makanan yang berada di mejanya nyatanya miliknya semua. Saat saya mengambil minum dan balik lagi ke meja, lelaki di depan saya sudah tak nampak lagi. Sudah pergi rupanya. Tapi pemandangan yang ditinggalkan tak elok dipandang mata. Ia meninggalkan sisa makanan yang banyak. Pakai kata banget. Nasi gorengnya tidak habis. Rotinya hanya dimakan secuil saja. Belum lagi piring buahnya.
Sayang memang, banyak makanan yang dibuang secara percuma. Entah mengapa, ia tak mengambil satu-satu dulu makanan. Setelah habis, baru ambil yang lain. Perilaku buruk ini jelas tak patut ditiru. Saya yakin, orangtuanya pasti mengajarkan hal yang baik padanya untuk tidak membuat makanan tersisa apalagi banyak atau membuang makanan. Perilakunya tak sebanding dengan gaya milenialnya. Kalau kata anak sekarang, ‘gaya milenial, perilaku barbar.’ Barbar tak selalu identik dengan sadis, dapat pula diartikan di sini sebagai norak atau kampungan.
Membuang makanan tak hanya dilihat dari tanggung jawab secara moral, tapi juga pemborosan makanan, adanya kerugian ekonomi, dan juga yang tak kalah pentingnya, menyebabkan kerusakan hebat pada lingkungan. Untuk yang terakhir ini, perlu digarisbawahi.
Membuang makanan jangan dianggap sepele. Penelitian ilmiah menunjukkan sampah makanan merupakan satu penyumbang gas rumah kaca dalam bentuk metana dan karbondioksida. Metana memiliki daya rusak 20 hingga 30 kali dari karbondioksida. Gas yang menimbulkan bau busuk tersebut ternyata mengeluarkan gas yang dapat menghasilkan pemanasan global.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization), Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penyumbang sisa makanan terbesar di dunia. Dan berdasar data dari EIU (Economist Intelligence Unit) yang dirilis tahun 2016, secara rerata setiap orang Indonesia dapat menghasilkan sampah makanan hingga 300 kilo per tahun. Angka ini kemungkinan besar bertambah tiap tahunnya.
Data-data yang tertera di atas jelas bukan sesuatu yang dapat dibanggakan bagi kita semua. Bahkan boleh dikatakan sangat menyedihkan. FAO juga menjelaskan bahwa sekitar sepertiga makanan di dunia hilang atau terbuang percuma setiap tahunnya. Di satu sisi, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memprediksi satu dari sembilan orang di dunia tidak memiliki akses untuk mendapatkan makanan yang sehat. Satu paradoks yang membuat hati ini bergetar. Bagaimana bisa, di satu tempat orang membuang makanan, di belahan dunia lain orang mengalami kelaparan.
Oleh karena itu, PBB mencatat banyaknya orang yang meninggal karena kelaparan lebih banyak dibandingkan yang meninggal karena gabungan dari penderita AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Kelaparan tak hanya sekedar akses mendapat makanan saja, tapi juga akses mendapatkan makanan yang sehat atau bernutrisi.
Jadi, bila Anda ingin mengambil makanan untuk disantap, dimanapun berada, please, secukupnya saja diambil. Bila kurang, sila tambah lagi. Orang bijak mengatakan, makan secukupnya, jangan berlebihan, dan berhentilah sebelum kenyang. Cobalah pikirkan sekali saja, saat Anda menyantap makanan, di sisi lain di dunia ini ada orang yang tak bisa makan enak atau malah tak bisa makan sama sekali.
Saat ini kita memasuki bulan suci Ramadhan, semoga bisa membawa berkah dan pelajaran bagi kita semua. Satu hal mengapa kita berpuasa, ialah untuk bisa merasakan bagaimana rasanya orang-orang yang tak mampu dalam menahan lapar karena tak sanggup membeli makanan. Saya percaya, pembaca setia Message of Monday ini bukanlah orang yang gemar membuang makanan. Semoga.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Photo by Anastasia Latunova: https://www.pexels.com/photo/food-leftovers-and-drink-on-table-9884423/