/ Ironi Kenaikan Kekayaan Para Pejabat di Tengah Pandemi
Ironi Kenaikan Kekayaan Para Pejabat di Tengah Pandemi
Message of Monday – Senin, 13 September 2021 Ironi Kenaikan Kekayaan Para Pejabat di Tengah Pandemi Oleh: Sonny Wibisono *
“Uang seperti cinta, ia membunuh dengan perlahan, dan menyakitkan pada orang yang menggenggamnya, dan menghidupkan siapa saja yang membagikannya kepada sesama.” -- Kahlil Gibran, penyair Amerika kelahiran Lebanon, 1883-1931
Dalam satu webinar yang bertajuk ‘Apa Susahnya Lapor LHKPN Tepat Waktu dan Akurat’ yang diselenggarakan minggu lalu, diungkapkan oleh pejabat KPK bahwa kekayaan pejabat atau penyelenggara negara mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19.
Harta para pejabat yang mengalami kenaikan jumlahnya mencapai 70 persen lebih. Angka yang dinilai sangat tinggi. Memang, ada pula pejabat yang harta kekayaannya menurun. Tapi jumlah itu tidak seberapa dibandingkan yang mengalami kenaikan. Secara umum, ada kenaikan signifikan.
Tengok saja, sebanyak 58 persen menteri pundi kekayaannya bertambah lebih dari Rp 1 miliar. Lalu sebanyak 26 persen menteri bertambah kekayaannya kurang dari Rp 1 miliar. Hanya 3 persen menteri yang melaporkan kekayaannya turun. Sementara itu, sebanyak 45 persen anggota legislatif kekayaannya bertambah lebih dari 1 miliar. Sedangkan anggota DPR yang melaporkan kekayaannya bertambah kurang dari Rp 1 miliar sebanyak 38 persen. Dan hanya 11 persen melaporkan berkurang.
Bila dirata-ratakan, kenaikan kekayaan para pejabat bertambah Rp 1 miliar. Sebagian besar di tingkat kementerian dan DPR. Ternyata tak hanya pusat saja yang mengalami kenaikan, para pejabat di tingkat daerah juga mengalami hal yang sama, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten-kota. Fenomena ini jelas satu ironi tersendiri di negeri yang ekonominya masih terpuruk akibat pandemi. BPS bahkan mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia terus bertambah selama pandemi ini.
Ah, mari kita berandai-andai. Seandainya, kekayaan para pejabat yang hartanya naik tersebut didonasikan untuk percepatan pemulihan ekonomi akibat terdampak pandemi virus corona, tentu sangat berarti sekali. Toh, kekayaan mereka sejatinya tidak berkurang. Bahkan jika masih dikurangi beberapa persen saja lagi, mereka masih tetap bisa hidup dengan layak. Bila itu dilakukan, yakinlah, pandemi di negeri ini semakin cepat berakhir.
Tapi mari kita berpikir positif pula. Jangan-jangan, mereka sudah menyumbang, hanya saja kita yang tidak tahu. Ya, mungkin saja. Semoga saja itu yang mereka lakukan. Walau begitu, kenaikan kekayaan para pejabat di saat sekarang ini tetap mendapat sorotan dan pertanyaan dari berbagai pihak. Karena hal itu merupakan paradoks.
Seorang pengamat politik dalam kritiknya mengatakan mereka para pejabat bertambah kaya justru di tengah rakyat menderita dan di tengah kondisi ekonomi memburuk. Dengan kata lain, bahagia diatas derita rakyat banyak. Dan ini bisa dibaca sebagai persoalan etika politik.
Memang, tak ada larangan orang bertambah kekayaannya. Pejabat boleh kaya. Siapapun boleh kaya. Jika bertambahnya kekayaan itu karena ada bisnis lain selain pekerjaannya sebagai pejabat negara, bisa dikatakan sebagai hal yang wajar. Tetapi publik juga patut bertanya-tanya dan perlu tahu, bisnis apakah yang mendapat keuntungan hingga miliaran rupiah dalam satu tahun ini.
Berbisnis sah-saja saja bagi siapapun. Menjadi persoalan tersendiri, bila para pejabat menggunakan pengaruh posisinya dalam berbisnis. Hal itu berdampak tak hanya pada persoalan etika semata, tapi sudah dapat dikatakan mengarah pada perilaku korupsi. Para pejabat negara seharusnya menghindari perilaku mengambil keuntungan di tengah penderitaan rakyat. Mengapa? Pejabat negara sejatinya adalah pelayan publik. Bukan pengusaha.
Lihatlah para pemimpin kita di zaman dahulu. Mereka hidup begitu sederhana. Saking sederhananya, seorang mantan Wakil Presiden Hatta bahkan tidak sanggup membayar listrik dan air di hari tuanya. Uang pensiunnya tak cukup untuk membayarnya. Atau lihatlah Syafruddin Prawiranegara, yang pernah menjabat sebagai pimpinan tertinggi PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), dimana isterinya berjualan sukun goreng untuk membiayai anak-anaknya agar bisa bersekolah. Padahal saat itu, Syafruddin masih menjabat sebagai pimpinan tertinggi PDRI.
Para pejabat di negeri ini sebenarnya tidak kekurangan apapun dalam soal gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Perlu diingat, mereka sejatinya dibayar dari rakyat. Di satu sisi, saat ini utang negara juga terus bertambah. Artinya secara tidak langsung mereka dibayar dari utang negara yang akan ditanggung oleh anak-cucu kita nantinya. Betul, gaji merupakan hak. Tapi menuntut sesuatu di tengah situasi ekonomi yang buruk seperti ini nampaknya juga kurang elok.
Apa yang perlu dilakukan? Para pejabat harus terus diingatkan mengenai tugas, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik agar tidak melenceng dari jalurnya. Masyarakat luas harus terus menyuarakan gerakan anti korupsi ini. Seorang pejabat publik, dalam level manapun sejatinya menjadi teladan bagi masyarakat yang dipimpinnya dengan mengedepankan etika sebagai nilai tertinggi.
Mari kita doakan yang terbaik untuk para pemimpin di negeri ini agar dapat mengemban amanah dengan sebaik-baiknyanya. Dan semoga saja pandemi ini segera berakhir.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012