Message of Monday – Senin, 13 Desember 2021 Jarimu adalah Cakar Harimaumu Oleh: Sonny Wibisono *
“You are what you write.” -- Anonim
Namanya Bu Harsi. Usianya sudah renta. Ia mengaku tak mengenyam pendidikan. Jadi tak bisa baca dan tulis alias buta huruf. Sehari-hari berjualan tengkleng kambing dan sapi di daerah Sukoharjo, Solo Baru. Tengkleng merupakan kuliner khas Kota Solo. Tengkleng kambing hampir mirip dengan sop kambing. Begitu pula tengkleng sapi. Tapi kali ini kita tak bicara soal kuliner.
Perubahan besar menimpa diri Bu Harsi dalam seminggu ini. Dagangan menjadi sangat sepi. Apa pasal? Belum lama seorang netizen mereview warung makannya secara negatif. Sang pemilik warung tersebut dituduh memasang harga secara tak wajar alias ngepruk. Benarkah demikian? Bu Harsi bercerita bahwa harga makanannya masih terhitung wajar. Untuk porsi besar seharga 30 ribu. Sedangkan porsi kecil seharga 15 ribu. Nah, si pembeli memintanya dalam porsi yang benar-benar komplet. Seporsi komplet harganya 150 ribu. Padahal, bahan yang dibelinya dari kulakannya saja sudah mahal.
Air matanya tumpah saat ia berkisah panjang lebar. Baru kali ini ia mengalami nasib seperti itu setelah puluhan tahun berjualan. Setelah menjadi viral, banyak orang yang hanya lalu lalang saja di sekitar warung makannya. Tapi hanya melirik saja tanpa mampir. Paguyuban PKL setempat pun akhirnya turun tangan membantu Bu Harsi setelah warungnya menjadi perbincangan di media sosial. Masukan diberikan oleh Paguyuban PKL agar kondisi warungnya berubah menjadi ramai lagi.
Media sosial yang kita gunakan sehari-hari pada akhirnya menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Ia bisa menjadi positif bila kita bijak menggunakan. Begitu pula sebaliknya. Apa yang ditulis pembeli tersebut ternyata berdampak sangat besar bagi kehidupan seseorang. Begitu viral, warungnya langsung sepi. Hal ini membuat kehidupan ekonomi Bu Harsi semakin sulit. Sang pembeli mungkin tak pernah mengira pula bahwa tulisannya mengakibatkan kehidupan seseorang menjadi porak poranda.
Ini menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa pikirkan dahulu baik-baik apa yang kita tulis sebelum diposting dan dibaca atau dilihat oleh khalayak umum. Bila seandainya kita kurang puas atau kurang berkenan, ada baiknya kita meminta klarifikasi dari sang pemiliknya. Kalau misalnya masakannya dirasa tidak enak, walau enak-tak enak itu soal selera, kita bisa langsung menegur ke pemiliknya. Dan, tak ada salahnya pula, sebelum kita memposting sesuatu, apalagi bila itu menyangkut nama baik seseorang, kita berdiskusi dahulu dengan orang yang paham atau mengerti masalahnya.
Sudah berapa kali saya mereview rumah makan, makanannya itu sendiri, atau tempat wisata, tapi saya tidak pernah mereviewnya secara negatif. Bagaimana bila memang ada rumah makan atau makanan yang dirasa tidak pas bagi saya? Ya tentu saja saya tidak posting.
Benarlah apa kata pepatah. You are what you write. Kamu adalah apa yang kamu tulis. Pikirkan dahulu masak-masak sebelum anda memposting sesuatu di media sosial. Bila Anda sudah mempostingnya, tak bisa Anda menghapusnya begitu saja. Saya teringat kisah Justine Sacco, seorang konsultan PR di perusahaan InterActiv Corp di New York. Pada bulan Desember 2013, saat ia akan memasuki pesawat menuju Afrika Selatan, ia menulis di Twitter “Going to Africa. Hope I don’t get AIDS. Just kidding. I am white!” yang artinya kurang lebih, “Pergi ke Afrika. Semoga saya tidak kena AIDS. Hanya bercanda. Saya seorang kulit putih!”. Setelah menulisnya, ia pun mematikan ponselnya sesuai aturan yang berlaku.
Postingannya tentu saja dinilai rasis dan menghina orang Afrika. Saat Justine di pesawat, tweetnya telah menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Banyak yang memintanya agar ia dipecat dari pekerjaannya. Justine tentu saja mematikan ponselnya saat ia berada di pesawat dan tak tahu tweetnya menjadi viral. Begitu mendarat di Cape Town, betapa terkejutnya Justine saat tahu tweetnya membuat kehebohan. Ia tak hanya menghapus tweetnya, tapi juga menghapus akunnya di Twitter, Facebook dan Instagram tanpa meminta maaf sedikitpun. Tweet bernada rasisnya muncul di media besar, seperti New York Times, CNN, ABC, BBC, dan media massa lainnya. Ia pun akhirnya meminta maaf. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Justine pun dipecat oleh kantornya.
Nasib Bu Harsi tentu berbeda dengan Justine. Yang satu korban dari apa yang ditulis oleh orang lain. Yang lainnya korban dari apa yang ditulisnya sendiri. Persamaannya, sama-sama menjadi korban dari suatu tulisan. Jadi sekali lagi kawan, pikir dahulu baik-baik sebelum memposting. Setuju?
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012