Message of Monday – Senin, 10 Januari 2021 Kisah Keberkahan Menuju Kuningan Oleh: Sonny Wibisono *
“Lebih baik sedikit tapi berkah daripada banyak tapi tidak membawa berkah.” -- Pepatah
Pemberlakuan pelat nomor ganjil genap di Jakarta, membuat saya memilih taksi sebagai opsi bepergian. Dalam perjalanan menuju daerah Kuningan untuk bertemu dengan kolega, akhirnya saya ngobrol dengan pak sopir. Tanpa ditanya, dia pun berkisah, termasuk soal perjalanan hidupnya. Semua itu dibuka dengan cerita klasik, sulitnya mencari uang di masa pandemi ini. Semula saat ekonominya membaik, dia sempat membuka warung kaki lima.
Tapi karena anjloknya perekonomian setelah diterjang wabah virus corona, warungnya pun tutup. Dia tak mampu lagi membayar ongkos operasionalnya. Akhirnya dia tak punya pilihan kecuali menjadi sopir taksi. Wabah corona memang bikin susah siapa saja. Tak hanya di Jakarta, tapi bagi mayoritas orang di belahan bumi ini. Namun dari cerita si bapak sopir ini, sepertinya ada yang sesuatu yang tidak pas dalam menjalani usahanya.
Sang sopir berkisah ia pernah membuka warung di pinggir jalan, sambil menyebutkan satu kawasan di Jakarta Timur, yang saya kenal baik. Maklum, saya tinggal di daerah ini. Rupanya dia membuka usaha di trotoar. Trotoar yang dikhususkan tempat para pejalan kaki. Menurutnya, usahanya itu halal dan toh, ia tak mencuri.
Tak ada yang salah memang. Namun dalam soal menjalani usaha, tentu halal saja tidak cukup. Perlu juga keberkahan. Maka itu ada istilah yang kita kenal, halalan thoyiban. Halal dan baik. Suatu pekerjaan atau usaha bisa saja dilakukan dengan halal, tapi belum tentu baik. Pun begitu pula sebaliknya. Dilakukan dengan baik tapi belum tentu halal.
Saya percaya mereka berjualan dengan halal. Membeli bahan baku makanan, peralatan masak, serta kursi dan meja dari hasil jerih payah mereka. Tapi, berjualan di trotoar, seperti yang dilakukan si sopir dan juga ratusan pedagang lainnya di Jakarta, bukanlah hal yang bisa mendatangkan keberkahan. Tentu saja dia membela diri. Bagi dia, para pedagang yang membuka usahanya dengan membuka warung di pinggir jalan bukanlah perbuatan buruk seperti mencuri atau korupsi.
Tidak mencuri bukanlah kesalahan, ya itu betul. Namun, berjualan di pinggir jalan dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran dalam soal aturan yang berlaku. Perda manapun tidak membolehkan berjualan di pinggir jalan atau di trotoar. Lebih jauh lagi, tindakan itu teramat zalim karena telah mengambil hak orang lain. Pejalan kaki menjadi tidak nyaman karena keberadaan para pedagang itu. Jadi, bagaimana bisa disebut berkah?
Tentu persoalannya tidak mudah bagi pak sopir dan juga kita semua. Untuk membuka warung setidaknya harus membayar sewa. Harga sewa pun tidak murah dan dari tahun ke tahun terus naik. Bisa-bisa, modalnya habis hanya untuk melunasi sewa. Namanya usaha, pilihannya hanya dua, untung atau rugi. Kalau tidak mau rugi, ya tak usah jualan. Begitu kata teman saya tempo hari dalam satu diskusi lain. Pasti ada risiko.
Maka itu dalam menjalankan satu usaha harus diperhitungkan dengan matang. Tapi ada banyak jalan sebenarnya. Membuka usaha makan secara online, mungkin bisa jadi pilihan si bapak sopir itu. Memang, keuntungannya tidak seperti yang mereka harapkan. Tapi dilihat dari segi apa pun, jenis usaha ini terbilang memiliki risiko kecil. Ya, itu hanya contoh kecil saja. Sejatinya banyak jalan dalam menjemput rezeki.
Wajib memang bagi kita menjemput rezeki dari arah manapun. Tapi tentunya harus pula dijalankan dengan cara-cara yang baik. Cara-cara yang tidak merugikan orang lain dalam bentuk apapun.
Ah, saya pun akhirnya tiba di tujuan dan berhenti pas di depan lobby. Entahlah, apa yang ada di benak sang sopir tersebut setelahnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga ia dilancarkan dalam mengais rezeki dan membawa keberkahan bagi keluarganya.