a a a a a a a a a a a a a a a
Kisah Seorang Penjual Sate
Message Of Monday

Message Of Monday

Home /
/ Kisah Seorang Penjual Sate
Kisah Seorang Penjual Sate

Kisah Seorang Penjual Sate

Message of Monday – Senin, 5 Juli 2010
Kisah Seorang Penjual Sate
Oleh: Sonny Wibisono *

"Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan."
-- Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika, 1801-1809

INI kisah seorang teman. Satu hari karena begitu laparnya, ia mampir ke warung sate kambing di pasar Rawamangun menjelang sore di hari Minggu. Setelah selesai makan dan membayar, ia pun beranjak pergi.

Kira-kira satu bulan kemudian, sang teman kembali lagi ke tempat yang sama. Tapi ketika ia hendak membayar, sang penjual sate menyerahkan uang seribu rupiah. Katanya, itu uang kembalian yang kurang satu bulan yang lalu. Waktu itu katanya, sang anak penjual sate sudah berlari mengejar sang teman untuk menyerahkan uang kembalian yang kurang. Tapi rupanya sang teman sudah keburu pergi dengan mobilnya.

Sebenarnya agak kaget juga sang teman dengan kejadian tersebut. Akhirnya, sang teman mengucapkan terimakasih. Ia malah lupa kalau memang kurang kembaliannya saat itu dan mengatakan tidak masalah. Dari bicaranya, jelas bahwa sang penjual sate ingin mengatakan bahwa uang itu merupakan hak orang lain dan harus diserahkan kepada pemiliknya. Sang teman begitu tersentuh. Bukan soal nominal uangnya. Tapi kejujuran sang penjual sate tersebut yang membuat dirinya trenyuh. Kejujuran sang penjual sate patut diapresiasi. Memang begitulah seharusnya, kita merasa malu bila memiliki barang yang bukan haknya.

Tapi, pada kenyataannya, hal ini jarang sekali kita temui di negeri ini. Yang kita lihat malah sebaliknya. Kasus-kasus korupsi yang terjadi, hampir setiap hari menjadi berita di media massa. Mengapa negeri ini yang konon penduduknya dikenal ramah tamah, korupsinya justeru menempati peringkat atas?

Padahal hampir setiap pagi hari kita mendengar siraman rohani di tivi. Rumah-rumah ibadahpun selalu ramai dikunjungi umatnya. Akhirnya, tempat-tempat peribadatan seakan-akan terlihat hanya menonjolkan aspek ritualitasnya, tidak menyentuh masalah substansinya, yaitu azas manfaat dan daya guna terhadap kemasalahatan orang banyak. Mereka tahu bahwa itu perbuatan salah. Mereka tahu itu dosa. Tapi toh,korupsi tetap saja berlangsung.

Mengetahui suatu tindakan salah saja tidak cukup. Yang diperlukan sebenarnya adalah kesadaran diri. Bila seorang koruptor sadar bahwa tindakannya akan berdampak lebih jauh, yang tidak hanya merugikan negara tapi juga rakyat, tentu akan berpikir berulang kali untuk melakukan korupsi.

Lantas bagaimana agar kesadaan itu terus tumbuh dan berkembang dalam diri kita? Cobalah kita berempati terhadap sesama. Anda mungkin sudah terlalu sering melihat para pengemis di jalan. Atau mendengar berita orangtua yang tak dapat menyekolah anaknya hanya karena tak mampu membayar uang sekolah. Cobalah bayangkan kita diposisi mereka. Sementara itu, mereka yang tak mampu, melihat orang-orang disekeliling mereka yang menikmati harta bendanya dari hasil korupsi. Bagaimana perasaan mereka?

Inilah pentingnya melakukan empati. Melakukan empati, pada dasarnya kita mencoba ’mendengarkan’ seseorang hingga ke dasar terdalam cara berpikirnya. Kita pun mencoba mendalaminya, dan mencoba melihat dari sudut pandang pemahamannya. Seandainya kita bisa memahami apa yang ia lihat, mengerti paradigma yang mendasarinya, maka kemungkinan besar kita pun dapat memahami apa yang dirasakannya.

Jika para koruptor dapat berempati dengan baik, bisa jadi mereka ragu-ragu untuk melakukan korupsi.Dan tentu saja, yang tak kalah penting, pemimpin harus memberi teladan yang baik bagi rakyatnya. Panutan harus dimulai dari atas. Siapapun dari diri kita sebenarnya merupakan pemimpin. Dalam lingkungan keluarga, orangtua tentunya juga seorang pemimpin. Ia menjadi panutan bagi anak-anaknya. Dan Anda bisa melakukan segala hal kebaikan tanpa harus melihat orang lain.
KOMENTAR

Latest Post

Tergoda Isu ViralTergoda Isu Viral
Selamat Datang 2023Selamat Datang 2023!