Message of Monday – Senin, 30 Januari 2012 Kita versus Korupsi Oleh: Sonny Wibisono *
“Kebaikan lahir dari kebaikan sebelumnya.” -- Risa dalam film ’Kita versus Korupsi’
“JUSTERU hal-hal besar itu dimulai dari hal yang kecil,” seorang wanita mengatakan hal itu pada pacarnya di depan Kantor Urusan Agama. Sang lelaki mencoba meyakinkan kekasihnya bahwa urusan akan selesai bila petugas KUA diberi sogokan. Mereka mencoba menikah cepat dengan jalan ‘kawin lari’. Sayangnya, atau malah untungnya, hanya satu berkas yang tak bisa dipenuhi syaratnya, yaitu kartu keluarga alias KK. Sang wanita jelas tak mungkin meminta langsung dokumen tersebut karena dokumen dipegang langsung oleh sang ayah. Dalam keadaan terjepit, sang lelaki mencoba menyogok petugas KUA agar masalah dapat segera diselesaikan. Keinginannya diamini oleh oknum petugas KUA yang mengiming-imingi urusan bakal lancar asal ada uang pelicin. Tapi sang wanita dengan tegas menolak. Ia teringat oleh teladan sang guru semasa kecilnya, Pak Markun, yang menolak memberi suap agar pangkatnya naik. Hingga akhir hayatnya, Pak Markun meninggal dalam kemiskinan dengan tetap memegang teguh idealisme.
Itulah cuplikan kedua dari film ’Kita versus Korupsi’ yang ditayangkan perdananya pada 27 Januari di Djakarta Theater. Film ’Kita Versus Korupsi’ merupakan film omnibus atau gabungan dari beberapa film pendek, yaitu ’Rumah Perkara’ dengan sutradara Emil Heradi, ’Aku Padamu’ disutradarai oleh Lasja F. Susatyo, ’Selamat Siang, Risa!’, disutradarai oleh Ine Febriyanti, dan ’Psstt... Jangan Bilang Siapa-Siapa’, dengan sutradara Chairun Nissa. Keempat film pendek ini berusaha memotret keseharian praktik korupsi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Walau secara umum film yang mengambil tema melawan korupsi ini cukup baik, ada beberapa catatan untuk keempat film tersebut.
Pada penggalan film kedua tersebut, sang wanita, diperankan oleh Revalina S. Temat, yang menolak menyogok petugas KUA, sebenarnya sudah menunjukkan itikad baik. Hanya saja menjadi paradoks, ketika ia setuju untuk kawin lari dengan pacarnya, yang diperankan oleh Nicholas Saputra. Apapun alasannya, jelas kawin lari bukanlah tindakan terpuji. Dalam pandangan luas, kawin lari dapat dianggap sebagai tindakan korupsi itu sendiri, dalam pengertian melanggar norma dan etika. Dalam bagian lain, sang guru teladan Markun wafat dalam kemiskinan. Ini ’seakan-akan’ mengajak publik untuk sepakat bahwa siapapun harus siap mati dalam keadaan terhormat dengan tetap memegang teguh idealisme walau dalam kondisi miskin sekalipun.
Sedangkan film pertama yang berjudul ’Rumah Perkara’, bercerita mengenai seorang lurah bernama Yatna, diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana, yang pernah berjanji untuk melindungi warganya. Namun setelah Yatna menjabat, satu persatu warganya terusir dari desanya untuk dijadikan kompleks perumahan. Masalah timbul ketika seorang janda bernama Ella, diperankan oleh Ranggani Puspandya, menolak untuk menyerahkan surat rumahnya. Berbagai cara ditempuh untuk mengusir Ella, namun gagal, hingga akhirnya rumah Ella dibakar oleh kaki tangan si pengembang. Malangnya, anak kandung Yatna yang biasa main ke rumah Ella pada akhirnya ikut menjadi korban rumah yang terbakar. Dalam menggusur warganya, tidak terlihat satupun warga yang merasa keberatan. Hanya sang janda saja yang tidak setuju. Itupun dibumbui dengan kedekatan hubungan sang lurah dengan janda, walau sang lurah telah memiliki isteri. Secara umum, alur dalam kisah film ini terkesan dipaksakan.
Sedangkan film ketiga ’Selamat Siang Risa!’ bercerita mengenai Woko yang diperankan oleh Tora Sudiro, pegawai gudang yang mengendarai vespa setiap harinya menuju kantor. Woko menolak suap yang ditawarkan oleh Koh Abeng yang menginginkan berasnya disimpan di gudang yang dikepalai oleh Woko. Saat itu semua gudang sudah penuh, hingga tinggal gudang yang dikepalai oleh Woko yang masih kosong. Film ini mengambil setting tahun 1974, saat semua harga barang tinggi dan rakyat hidup dalam keadaan susah. Tapi walau hidup sederhana dengan gaji pas-pasan, dan tahu isterinya, diperankan oleh Dominique Agisca Diyose, bersusah payah mencari uang untuk mengobati anaknya yang sakit serta nasi untuk makan yang tidak mencukupi, Woko tetap berpegang teguh pada pendirian dan kehormatannya. Kisah ini sebenarnya sudah bagus diawal. Mampu menyentuh emosi penonton. Sayangnya, pada bagian akhir film, sepertinya tidak mengena pada keseluruhan isi cerita. Pada bagian ini, Risa, putri Woko yang telah beranjak dewasa tidak memperlihatkan adegan yang menggambarkan secara utuh warisan idealisme orangtuanya. Risa hanya bisa melihat nyinyir seorang polisi yang menerima uang sogokan di jalan raya. Judulnya pun tidak pas. Karena pemeran utama dalam cerita ini sesungguhnya adalah Woko, yang mengalami perang batin, antara menerima sogokan atau mendahulukan biaya berobat putrinya dan membeli beras yang dirasakan kurang.
Film terakhir berjudul ’Psssttt... Jangan Bilang Siapa-Siapa’ berkisah mengenai tiga sekawan pelajar SMA. Olla, diperankan oleh Alexandra Natasha, Gita diperankan oleh Nasya Abigail, dan temannya, yang diperankan oleh Siska Selvi Dawsen yang memiliki pandangan berbeda mengenai bagaimana seharusnya mengelola uang. Olla selalu melebihkan permintaan uangnya ke orangtuanya, termasuk pembelian buku pelajaran. Tindakan Olla justeru didukung oleh ibunya. Sementara sang ayah, tanpa mencek terlebih dahulu, memberikan apa yang diminta Olla. Ternyata sang ayah ditempat kerjanya juga melakukan praktik korupsi. Cerita ini secara tak langsung, seakan-akan tak hanya membenarkan pemeo ’like father like daughter’, tapi juga ’like mother like daughter’. Kebiasaan orangtuanya yang melakukan korupsi, diikuti juga oleh sang anak. Ibu, bapak, dan anak, sama rusaknya dengan melakukan korupsi. Sedangkan temannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, yang membeli kamera setelah menunggu setahun dari hasil tabungannya sendiri, malah tak ada adegan satupun keluarga lainnya yang mendukung tindakan ini. Kisah ini juga menjadi dilema. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran ternyata sama bobroknya. Sang guru dan kepala sekolah ikut terlibat dalam praktik korupsi. Menjadi pertanyaan, bila benteng awal di lingkungan keluarga tidak tertanam nilai-nilai kejujuran, begitupula disekolah, kemana lagi sang murid harus belajar nilai-nilai kejujuran?
Sayangnya, film ini bukan untuk komersil. Rencananya hanya akan diputar diberbagai sekolah dan perguruan tinggi. Tapi biar bagaimanapun, film ini tetap harus diapresiasi. Ditengah miskinnya film-film yang mengangkat tema korupsi, film ini mampu menggugah masyarakat, bahwa korupsi, apapun bentuk dan berapapun jumlahnya, bukanlah tindakan terpuji, dan bagaimanapun caranya, tetap harus dilawan. Sepakat?
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday'