Message of Monday - Senin, 7 April 2008 Konsekuensi Oleh: Sonny Wibisono
”Percuma saja berlayar, bila kau takut gelombang.” -- Meggy Z. dalam ‘Jatuh Bangun’
KISAH ini terjadi pada awal tahun ini. Seorang eksekutif muda, umurnya kira-kira forty-lah. Dia baru saja mencapai puncak kariernya. Jabatan Direktur Keuangan pada perusahaan multi nasional di Jakarta, kini menclok dalam kartu namanya. Namanya juga jadi bos, dia pun merasa perlu terjadi perubahan besar dari penampilannya. “Apa ya?” ujarnya sambil menggaruk dagunya di depan cermin. Dia pun menjentikkan jemarinya. Ide besar menyembul di kepalanya. Saat itu pula dia mengambil telepon selulernya.
Esoknya, pagi-pagi sekali dia sudah berada di ruang pamer mobil mewah di bilangan Sudirman Central Business District atau lebih dikenal dengan SCBD. Ia ingin mengganti mobil lamanya dengan mobil keluaran terbaru. Sesuai janji sore sehari sebelumnya, dia pun sudah berada di sana tepat pada pukul 10 pagi. Calon pembeli yang serius, demikian keyakinan sales senior executive di ruang pamer mobil mewah itu, yang langsung melempar senyum.
Dengan wajah yang sudah disetel standar terhadap calon pembeli potensial, sang sales itu pun tak kehabisan kata untuk menjawab semua pertanyaan si direktur keuangan itu. Tak dinyana, proses tanya jawab itu berlangsung hingga menjelang waktu makan siang. Tiba-tiba sebuah pertanyaan keluar dari mulut calon pembeli. “Oh ya, untuk pemakaian bensin, satu liter untuk berapa kilo ya?”
Seperti dipeluk banci, sang sales tiba-tiba berubah cemberut. Sang eksekutif muda itu awalnya santai saja. Namun kemudian ia mengetahui ada yang salah dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang diajukan sang eksekutif muda tersebut mungkin tidak salah, tetapi jelas sangat di luar konteks. “Mau beli mobil mewah, kok masih mikirin pengeluaran bensin.” Mungkin pikir sang sales, “Hari genee…”
Kejadian di atas tak beda jauh dengan kisah berikut ini yang terjadi di pertengahan tahun 2006. Seorang pasangan muda, dengan satu anak mendatangi sebuah apartemen yang terletak di daerah Blok M, Jakarta Selatan. Apartemen tersebut baru saja diluncurkan. Promosi besar-besaran mampu menuntun pasangan muda itu untuk membelinya. Pada akhir pekan, dia mengajak istri dan anaknya untuk melihat calon rumah barunya.
Semua habis ditilik dan disapu mata. Mulai dari ruangan demi ruangan apartemen tersebut, hingga kolam renang, spa, lapangan olahraga, pusat kebugaran, taman bermain, dan fasilitas lainnya. Kelihatannya mereka sudah jatuh hati. Meski harga satu unit apartemen itu tak bisa dibilang murah sama sekali, dengan nilai banderol Rp 1,8 miliar. Boleh cicil, boleh pula tunai.
Singkat cerita, sambil berjanji akan segera mengeksekusi keinginannya, keluarga itu pun pamit. Setelah tersadar, apartemen itu terletak tidak di jalan raya, sang istri untuk terakhir kalinya bertanya kepada bagian pemasaran apartemen tersebut. “Bus nomor berapa ya dari arah Blok M yang menuju ke sini?”
Pertanyaan tersebut tidaklah salah. Bahkan jujur. Namun lagi-lagi, dalam pertemuan seperti itu, kata-kata dari sang nyonya di luar konteks.
Dua kejadian di atas memberikan pelajaran soal konsekuensi. Konsekuensi merupakan dampak ikutan dari suatu sebab. Konsekuensi jelas berbeda dengan risiko. Ketika Anda mengambil risiko, Anda belum mengetahui dampak ikutan yang akan terjadi. Misal kalau Anda membeli saham, risikonya hanya ada dua, Anda rugi atau Anda untung. Tetapi kalau konsekuensi, dampak yang mengikutinya sudah dapat diprediksi sebelumnya.
Contoh sederhana, ketika Anda ingin rumah terasa adem sekalipun matahari tengah membakar bumi, tak ada pilihan kecuali dengan memasang pendingin udara di seluruh ruang rumah Anda. Katakanlah diperlukan 4 pendingin udara untuk seluruh ruangan. Apa konsekuensinya? Jelas, anggaran untuk membayar tagihan listrik harus diperbesar. Jadi Anda harus sudah siap dengan adanya tambahan biaya yang lebih besar setiap bulannya.
Begitu pula halnya dalam pekerjaan. Ada konsekuensi-konsekuensi yang harus Anda sadari sepenuhnya. Anda harus sudah dapat memprediksi dampak ikutan yang akan terjadi bila Anda akan memutuskan atau tidak memutuskan sesuatu.
Dalam suatu wawancara pemilihan jajaran Direktur di salah satu Komisi Negara, seorang CEO di salah satu perusahaan swasta yang masih aktif, ditanya oleh sang pewawancara. Bukankah ketika ia nantinya terpilih dan menjabat sebagai pejabat di komisi tersebut, gajinya tidak sama dengan yang ia dapatkan di perusahaan sebelumnya. Bahkan segala fasilitas kemewahan tak akan ia dapatkan lagi bila ia terpilih sebagai pejabat.
Sang CEO pun menjawab, bahwa hal itu merupakan konsekuensi bila kelak ia nanti terpilih. Ia sudah siap akan hal itu. Ada alasan tertentu, soal idealisme dan keyakinan, yang ia yakini bila ia akan menjabat sebagai pejabat negara.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, Anda harus sudah siap akan konsekuensi bila Anda akan memutuskan atau tidak memutuskan sesuatu. Oleh karena itu, pikirkan dengan masak betul sebelum yakin akan keputusan yang akan Anda ambil. Jangan sampai nanti Anda merasa melakukan tindakan “bodoh” yang tidak perlu. (070408)