Message of Monday - Senin, 1 September 2008 Mengasah Nurani dengan Empati Oleh: Sonny Wibisono
“Orang mungkin lupa dengan apa yang Anda katakan, lupa apa yang Anda lakukan, tapi akan selalu terkenang dengan bagaimana Anda memperlakukan mereka.“ -- Bonnie Jean Wasmund
AKHIRNYA mereka bertemu. Pada 17 Agustus lalu, di Istana Negara, dua remaja dari dua negara, dua wilayah yang berjauhan jaraknya, saling bertatapan, berpelukan, menangis bersama, dan tentu saja, tersenyum bersama. Sebuah happy ending seperti layaknya film-film remaja saat ini. Siapakah mereka? Sebegitu dramatiskah kisah mereka?
Mari sejenak kita kembali pada waktu, sekitar empat tahun silam. Ketika itu, tanah Aceh di sebuah pagi di hari Ahad, digulung ombak besar yang datang dari laut. Gempa besar, sekitar 9 skala richter mengguncang Aceh, menyebabkan air bah raksasa menyapu kota itu.
Nada Lutfiah, seorang gadis remaja hampir saja menjadi korban. Untung dia selamat, meski banyak anggota keluarganya ikut tergulung dalam ombak besar itu. Air matanya terus menggenang seiring dengan tanah Aceh yang bersimbah air mata.
Nun jauh di tanah Amerika Serikat, tangis itu juga pecah. Air mata Maggie Hamilton, seorang anak berusia 9 tahun, menetes. Meski dia sama sekali tidak mengenal orang-orang yang menjadi korban bencana Tsunami itu, toh dia merasakan pedih yang tak terkira.
Namun dia beruntung. Dia masih memiliki segalanya. Bersama dengan teman-teman sekolahnya dari Charlevoix Elementary School, menulis surat sebagai tanda keprihatinan mereka kepada korban Tsunami. Dia pun menggalang dana. Caranya dengan menjual gelang persahabatan yang uangnya dikumpulkan untuk diberikan kepada para korban Tsunami. Hasilnya lumayan. Uang seribu dolar mereka kumpulkan.
Karena tidak tahu kepada siapa surat itu akan dituju, sekolah asal Maggie, Charlevoix Elementary School menitipkan pada Gedung Putih untuk disampaikan pada Pemerintah Indonesia. Akhirnya melalui jalur diplomatik, surat tersebut tiba juga di Indonesia. Sesampainya di Indonesia, surat itu diserahkan kepada Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto yang akhirnya memberikan surat itu kepada murid sekolah dasar di Aceh.
Surat Maggie yang disertai sebuah gelang tangan itu dibalas oleh seorang gadis korban Tsunami yang kehilangan orang tua serta sanak saudaranya, Nada Lutfiah, kini 12 tahun. Setelah empat tahun melakukan korespondensi, Pemerintah Indonesia akhirnya mengundang Maggie dan keluarganya datang ke Indonesia untuk dipertemukan dengan Nada Lutfiah. Mereka pun bertemu dalam acara perayaan ulang tahun kemerdekaan di Istana Negara, 17 Agustus lalu.
Inilah sebuah kisah yang dramatis, mengharukan, dan paling penting: mengetuk nurani siapa saja yang menyimaknya. Tak urung, media lokal dan asing meliput berita yang mengharukan ini. Maggie yang tidak pernah tahu di mana letak Aceh yang sesungguhnya, kecuali melalui siaran televisi, langsung mencuat rasa kepeduliannya yang luar biasa. Hanya dengan gambar di televisi, dia sepenuhnya bisa merasakan seluruh penderitaan yang dialami rakyat Aceh ketika itu.
Empati. Itulah yang ada dalam diri Maggie. Melakukan empati, pada dasarnya kita mencoba ’mendengarkan’ seseorang hingga ke dasar terdalam cara berpikirnya. Kita pun mencoba mendalaminya, dan mencoba melihat dari sudut pandang pemahamannya. Seandainya kita bisa memahami apa yang ia lihat, mengerti paradigma yang mendasarinya, maka kemungkinan besar kita pun dapat memahami apa yang dirasakannya. Singkat kata, empati adalah bersatunya rasa. Apa yang dirasakan Nada, itu pula yang ada dalam lubuk hati Maggie. Namun persoalannya, tidak semua orang bisa melakukan hal itu. Hanya orang-orang terpilih, yang bisa memiliki perasaan yang kurang lebih sama dengan yang dialami orang lain.
Pada saat epidemi HIV/AIDS terjadi. Isu yang diembuskan dalam menangani para pengidap virus mematikan itu adalah dengan jalan menumbuhkan empati. Siapa pun diharapkan bisa merasakan kesedihan yang dialami penderita HIV/AIDS, sehingga mereka tidak terkucilkan dalam pergaulan masyarakat.
Kini, di saat negeri ini masih dilanda kesusahan, sebenarnya rasa empati itu dapat muncul dengan seketika, begitu melihat atau membaca koran tentang penderitaan yang dialami masyarakat yang kurang beruntung. Sejatinya bila hal itu sudah terwujud, rasanya mustahil berbagai kabar buruk mengenai kekurangan gizi dan kelaparan akan terus terjadi.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar empati itu dapat terus tumbuh dalam diri seseorang? Hal pertama, tentu saja kita harus mampu untuk berpikir positif terhadap segala sesuatu. Dengan berpikir positif, akan membuat langkah ke depan kita dalam melakukan sesuatu menjadi lebih ringan. Kita pun dapat terus berusaha mencapai tujuan-tujuan yang positif ketimbang memikirkan hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Rasa empati dapat pula terus tumbuh bila kita senantiasa melakukan kontak sosial dengan sekitar kita. Melakukan kontak sosial tak harus kita mendatangi langsung ke lokasi. Hanya dengan melihat dan membaca, Maggie dapat merasakan kepedihan yang dirasakan oleh para korban. Ada baiknya, Anda tak melulu jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, suatu tempat keramaian yang penuh dengan kegembiraan dan kemewahan. Cobalah lakukan sebaliknya. Anda bisa juga mendatangi tempat-tempat kumuh misalnya. Dengan mengetahui kejadian secara langsung, hati akan selalu dituntun untuk melihat dengan mata hati, otak pun kemudian akan berpikir dan kemudian menimbangnya.
Sebagai makhluk sosial, seorang manusia mustinya sadar bahwa ia hidup tak sendirian. Suatu saat, dan hal itu akan terus terjadi, ia akan selalu membutuhkan uluran tangan dari orang lain. Begitu pula, ketika kita melihat seseorang yang mengalami kesusahan. Hati nurani kita biasanya langsung iba. Empati pun timbul. Tapi iba saja belumlah cukup. Kita bisa menawarkan uluran bantuan tanpa diminta sekalipun. Contoh sederhana dalam melakukan empati misalnya ketika kita sedang makan siang di kantor. Kita pun menawarkan pada teman untuk berbagi, walau terkesan basa-basi. Seandainya teman tersebut tiba-tiba menerima tawaran tersebut, kita pun harus siap.
Dengan empati, tak hanya kita menolong orang, secara materil walau mungkin tak seberapa, tapi juga utamanya secara moral. Dan yang paling penting yang harus kita ingat: roda selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Seandainya kita sendiri suatu saat nanti mengalami kesusahan, kita sudah siap dan ikhlas dalam menerima cobaan tersebut. Mengingat hal itu, suatu ketika bisa saja kita mengalaminya, akan semakin mengasah nurani kita. Semoga. (010908)