Message of Monday – Senin, 11 Oktober 2021 Menggantung Asa di Sepanjang Jalan Oleh: Sonny Wibisono *
“Bagai makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati.” -- Peribahasa Indonesia
Bagaimana rasanya bekerja di balik balutan pakaian badut sehari penuh? Panas. Keringat mengalir terus. Lelah tak berkesudahan. Itulah yang dikerjakan Yatno. Pria berumur 35 tahun melakoninya ditengah debu yang beterbangan di pinggir jalan. Dan tentu saja panasnya terik matahari. Pekerjaan ini terpaksa dilakukannya setelah perusahaannya merumahkannya karena pandemi Covid-19. Bila lelah, sesekali Yatno menepi ke balik pepohonan membuka penutup kepalanya untuk menggerakkan leher dan menghirup udara segar.
Badut. Bahasa kerennya: cosplay. Memang marak kehadirannya di jalanan ibukota saat ini. Juga di kota-kota lainnya. Hampir di setiap persimpangan jalan utama kita temui mereka. Selain badut, ada pula pengamen dan manusia silver yang sama-sama mengadu nasib. Utamanya mereka ada di pinggir jalan. Ada pula yang menyusuri dengan berjalan kaki menyambangi rumah satu demi satu.
Menjadi badut saat ini nampaknya menjadi jalan pintas dalam mengais rezeki. Mengapa? Karena tidak dibutuhkan skill khusus. Cukup berdiri di pinggir jalan sambil sesekali berjoget untuk menghibur orang yang lalu lalang. Walau begitu, mereka tetap harus bermodalkan pakaian badut. Tak murah. Setidaknya mereka harus merogoh kocek antara 750 ribu hingga 1,5 juta rupiah. Tergantung karakter badut yang diinginkan. Ada yang berkarakter superhero, hewan, atau lainnya. Mereka membelinya dengan meminjam ke orang lain dan mencicilnya secara bulanan.
Berapa penghasilan yang didapat dalam sehari? Tak tentu memang. Rerata antara 50ribu hingga 100ribu per hari. Bila sedang hoki, kadang ada dermawan yang memberinya uang 100ribu rupiah. Pendapatan tersebut dikatakannya makin hari makin berkurang mengingat semakin banyaknya orang-orang yang melakukan hal yang sama.
Cukupkah uang segitu untuk kebutuhan sehari-hari? Ya dicukup-cukupkanlah. Kalau bicara keperluan, tak ada batasnya. Manusia akan selalu merasa kurang. Setidaknya, masih ada sisa uang yang disisihkan guna membayar cicilan pakaian badut.
Memang dalam aturan yang berlaku, ‘profesi’ badut jalanan ini tak dibenarkan. Dalam aturan yang dikeluarkan di hampir semua Pemerintah Daerah di Indonesia, tak dibolehkan bersedekah kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di pinggir jalan, persimpangan lampu lalu lintas, di dalam angkutan umum, jembatan penyeberangan, dan area perkantoran.
Yang menyedihkan, tak sedikit dari para PMKS ini adalah anak-anak. Dapat dipastikan, bahwa anak-anak itu kehilangan haknya bermain dan bersekolah. Tapi mau bagaimana lagi? Tak banyak pilihan bagi mereka yang mengalami kesulitan ekonomi seperti Yatno di tengah pandemi seperti ini. Selain tak memiliki keterampilan, mereka juga tak memiliki modal untuk memulai usaha. Boro-boro bicara buka lapak dagangan misalnya, untuk biaya hidup sehari-hari saja mereka ngos-ngosan.
Pekerjaan ini bukannya tanpa risiko. Yatno bukannya tidak tahu. Tertular virus Corona misalnya. Tapi ia hanya bisa pasrah saja dan tak menghiraukannya. Soal mati katanya itu ditangan Tuhan. Belum lagi bila ada razia sewaktu-waktu. Terkena virus Corona memang bisa menyebabkan kematian. Tapi tidak makan karena tidak bekerja juga bisa membuat orang mati. Jadi apa bedanya kata Yatno.
Manusia badut sejatinya bukan bagian dari seni street performance (pertunjukan jalanan). Karena biasanya, street performance dilakukan di area publik yang telah difasilitasi. Aturannya jelas, mereka tak boleh sembarangan berkeliaran di area publik. Karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Mencari solusi permasalahan ini tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Masalahnya kompleks, pertautan masalah yang muncul pada akhirnya hanya laku diruang webinar dan zoom yang saat ini lagi booming. Dalam dunia nyata, duh, faktanya sulit sekali dicarikan jalan keluarnya.
Jadi kudu piye? Serahkan kepada para pemangku kebijakan untuk mencari solusi yang terbaik. Bukankah fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara? Itu yang tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar.
Nah, bagaimana dengan para badut itu sendiri? Selama belum ada solusi secara integral dari Pemerintah, baik pusat atau daerah, sulit menghilangkan profesi ini. Toh, sudah bagus mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka sendiri sebenarnya juga tak mau melakukan hal ini. Ada harapan besar dari mereka bahwa pandemi ini segera berakhir dan mereka bekerja secara permanen dengan upah rutin.
Lantas bagaimana kita sendiri bersikap? Bisa dipahami, dari sudut perspektif kelas menengah, ada yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Ada yang mengatakan bahwa dengan kita memberi uang artinya membenarkan tindakan yang mereka lakukan. Saya berpendapat kita seharusnya bisa memiliki sikap welas asih yang lebih. Apalagi saat situasi seperti ini. Ingat, para badut itu hanya sekedar survive. Sekedar bertahan hidup. Tidak lebih. Bila memungkinkan, beri saja uang yang lebih dari biasanya.
Dalam keadaan serba sulit sekarang ini, memang hanya ada dua pilihan bagi Yatno dan badut-badut lainnya. Mencari ide kreatif dalam bertahan hidup secara trengginas. Walau hanya sekedar menjadi badut jalanan, atau menyerah, yang membuat tergilas, bahkan bisa-bisa menjadi beringas. Tinggal pilih kawan.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012