Message of Monday – Senin, 30 Agustus 2010 Pemimpin Berkarakter Oleh: Sonny Wibisono
"Kepemimpinan adalah gabungan antara strategi dan karakter. Tetapi apabila kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang kedua.” -- Jenderal H. Norman Schwazkopf, Panglima Operasi Badai Gurun dalam Perang Teluk Pertama
ENTAH mimpi buruk apa yang dialami Lee Hae-chan. Hae-chan mantan Perdana Menteri Korea Selatan pada 2004. Tokoh politik berumur 53 tahun itu barangkali tak pernah menyangka bahwa jabatan strategis itu musti ditanggalkan gara-gara main golf pada saat sedang berlangsung pemogokan nasional. Masyarakat menganggap Hae-chan bermain pada hari yang tidak tepat. Hae-chan pun mendapat kecaman bertubi-tubi. Ia dituding tidak peka. Sebagai pemimpin, seharusnya ia bekerja keras saat terjadi krisis pemogokan, bukan malah asyik main golf.
Hae-chan mustinya bertanggung jawab atas krisis itu, bukan lari dari tanggung jawab dengan main golf. Hae-chan mustinya mendengarkan tuntutan rakyat yang melakukan pemogokan, bukan lebih mendengarkan koleganya di lapangan golf. Hae-chan mustinya tampil sebagai sosok pemimpin ideal, pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan malah berleha-leha sambil memegang stick golf. Tapi Hae-chan tidak menyembunyikan diri, juga tidak mencari kambing hitam. Hae-chan tampil ke hadapan publik dengan pernyataan maaf. Dilaporkan media, ia berulang-ulang minta maaf atas ketidak-pekaannya. Ia mengaku tindakannya itu sebagai skandal memalukan. Sampai-sampai untuk menghapus rasa malu itu ia akhirnya mengundurkan diri.
Adakah orang seperti Hae-Chan di negara ini? Anda bisa lihat. Walaupun rakyat didera hidup susah, antri bahan bakar di seantero nusantara, kelaparan di beberapa daerah, para petani gagal tanam dan panen karena bencana, bencana dimana-mana, toh tetap saja para pemimpin di negara ini asyik masyuk dengan kepentingannya sendiri. Mereka tak hirau. Mereka tak peduli.
Karakter ternyata memegang peranan utama dalam hal kepemimpinan. Itulah pula salah satu alasan mengapa negeri ini terus didera oleh berbagai konflik dan masalah, tetapi tidak pernah atau belum selesai hingga saat ini. Mengapa? Sesederhana jawaban Edgar Puryear, ’karena tidak memiliki karakter’ dalam bukunya yang berjudul ’American Generalship’ dengan sub-judul ’Character is Everything: The Art of Command’.
Puryear menjelaskan panjang lebar bahwa karakter memegang peranan penting dalam suatu kepemimpinan. Puryear mengambil contoh Jenderal George McClellan, yang merupakan lulusan terbaik dari Akademi Militer AS pada 1846. Kala itu, Presiden Abraham Lincoln mengangkat McClellan menjadi panglima pertahanan ibukota dengan pangkat Mayor Jenderal ketika terjadi perang saudara. Tapi pasukan yang dipimpin McClellan kalah, bahkan Pasukan Konfederasi malah sempat membakar Gedung Putih yang saat itu sedang dibangun. McClellan pandai secara akademis, tapi seperti kata Puryear, ia tak memiliki karakter.
Puryear benar, pemimpin harus memiliki karakter yang kuat. Tak sekedar tenar. Dan tak sekedar mengandalkan pencitraan. Orang yang berkarakter adalah orang yang tahu menghargai pendapat orang lain yang berlainan dengan pendapatnya. Orang yang berkarakter adalah orang yang berani tidak populer. Ia berani membela kebenaran yang telah diyakininya, tidak bimbang, walau ditentang banyak orang. Ia harus berpikir jauh ke depan. Bukan hanya diri, keluarga, dan koleganya yang dipikirkan, tapi juga peduli dengan nasib orang lain, terutama orang-orang yang dipimpinnya. Orang yang berkarakter adalah juga orang yang mengetahui harus berbuat apa di saat yang tepat. Dengan kata lain, ‘the right man on the right place’, dan tentunya pula ’the right decided’, mampu mengambil keputusan dengan tepat.
Bulan Mei tahun 2008, tepat di hari Kebangkitan Nasional, kita kehilangan seorang tokoh yang berkarakter, Bung Ali Sadikin. Tegar, berani tidak populer, dan konsisten. Itulah kombinasi tiga karakter yang dimiliki Ali Sadikin yang diharapkan akan muncul nantinya, baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah, untuk mengatasi keterpurukan bangsa ini. Bukan pemimpin yang hanya mengandalkan citra semata. Semoga.