Message of Monday – Senin, 7 Februari 2022 Reputasi, Antara Donat dan Mobil Oleh: Sonny Wibisono *
“Diperlukan waktu 20 tahun untuk membangun reputasi dan 5 menit untuk menghancurkannya." -- Warren Edward Buffett, investor dan pengusaha Amerika
Satu waralaba yang mengkhususkan penjualan donat belum lama ini mendapat kritikan pedas dari para netizen. Apa pasal? Di Instagram viral postingan donat-donat dari satu brand ternama dibuang karena tidak habis dijual. Apa yang dilakukan produsen donat itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan netizen.
Sebagian netizen menyayangkan hal tersebut. Ada yang memberi saran, kenapa tidak disumbangkan saja? Misalnya bagi mereka yang membutuhkan, seperti yayasan yatim piatu. Tapi, ada pula yang bisa memahami tindakan tersebut.
Tindakan membuang makanan ke tempat sampah tersebut bukannya tanpa sebab. Semua berakar dari reputasi. Reputasi? Ya. Reputasi pada akhirnya mengalahkan segalanya. Citra dan kepercayaan pelanggan di atas segalanya. Tak peduli berapa pun biaya yang harus dikeluarkan.
Ada beberapa alasan mengapa makanan enak itu harus dibuang. Roti atau donat memiliki daya tahan dalam waktu tertentu. Tapi lewat dari waktu tertentu pula, teksturnya akan berubah. Secara rasa dan tampilan menjadi tidak menarik lagi. Padahal tampilan merupakan satu daya tarik utama produk makanan. Selain soal rasa tentunya.
Tapi bukankah bisa dijual murah? Ya, bisa saja. Tapi itu sama saja menurunkan standar kualitas produk yang mereka hasilkan sendiri. Boleh saja didiskon, misalnya beli satu dapat dua. Asalkan tidak melebihi waktu sebelum tutup dan belum melewati standar waktu yang mereka tentukan.
Bagaimana bila diberikan ke karyawan mereka sendiri? Tak ada jaminan makanan itu tak dijual kembali. Bila itu terjadi, cilaka dua belas namanya. Karyawannya untung tapi reputasi perusahaan bisa menjadi buntung.
Membuang makanan ke tempat sampah sebenarnya bukan sesuatu hal yang luar biasa bagi satu perusahaan. Bicara reputasi, apapun akan dilakukan. Saya teringat peristiwa yang menimpa pabrikan mobil Mazda dari Jepang. Mazda pernah mengambil keputusan besar untuk memusnahkan sebanyak 4.703 mobil yang masih tergolong keluaran terbaru pada saat itu, yaitu Mazda3 dan CX-7.
Mazda CX-7 sendiri memiliki kecanggihan mesin MZR 2.3L Direct Injection Spark Ignition Turbo. Artinya, mobil ini punya tenaga maksimum 235Hp pada putaran 5.000rpm, dan torsi maksimum mencapai 350Nm/2.500rpm. Mobil-mobil yang dimusnahkan tersebut diperkirakan bernilai sekitar US$ 100 juta. Angka yang terbilang fantastis.
Tapi, kok bisa? Ya, iso wae. Nah, pertanyaannya pun sama saja seperti di atas tadi soal donat. Kenapa harus dimusnahkan? Mengapa tidak dilelang saja atau katakanlah menjual suku cadangnya saja? Sebentar. Itu ada ceritanya. Hal ini tatkala The Cougar, nama dari kapal kargo yang mengangkut 4.703 unit mobil produksi Mazda tersebut mengalami kecelakaan.
The Cougar tengah menempuh perjalanan laut dari Jepang menuju Vancouver, Washington dan Port Hueneme, California. Tapi sebenarnya, ribuan mobil itu tak mengalami kerusakan sedikitpun. Itu karena sistem penyimpanan yang aman di dalam kapal.
Seperti dijelaskan di awal, citra memang mengalahkan segalanya. Mazda pun berjanji untuk tidak melempar mobil-mobil yang berada di dalam kapal the Cougar ke pasaran. Berbagai alternatif solusi pun mengemuka. Misalnya, kan bisa dipakai di sekolah kejuruan otomotif untuk penelitian. Atau dipakai untuk film-film laga.
Toh pada akhirnya, pemusnahan keseluruhan mobil dinilai menjadi pilihan terbaik. Mazda tahu benar arti risiko. Mereka benar-benar tak ingin bermain dengannya, karena tetap saja selalu ada kemungkinan produk-produk itu memiliki keluhan. Jika itu terjadi, bagai kiamat namanya. Citra dan reputasi Mazda sebagai satu produsen otomotif terdepan pun bisa rusak karenanya.
Reputasi bagi individu, lebih-lebih bagi perusahaan merupakan hal yang penting. Survey yang dilakukan Hill and Knowlton’s Corporate Reputation Watch tahun 2004 mendapatkan hasil: “93% of senior executives believe that customers consider corporate reputation important or extremely important.” Polling yang dilakukan Firma Asuransi AON terhadap 2000 perusahaan papan atas di Inggris pada tahun 2001 pun menunjukkan bahwa kehilangan reputasi dilihat sebagai sebuah risiko terbesar.
Dibutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk membangun reputasi yang baik, tetapi diperlukan waktu lima menit saja untuk meruntuhkannya. Banyak kasus perusahaan dunia hancur dalam sekejap. Lihatlah apa yang dialami Enron, Merrill Lynch, dan WorldCom.
Ah, tapi omong-omong, apa sesungguhnya yang dimaksud reputasi? Ada banyak teori. Professor Gary Davies dari Manchester Business School memberikan definisi semacam ini, "Reputation is a collective term referring to all stakeholders’ views of corporate reputation, including identity and image." Sederhananya, reputasi merujuk pada semua pendapat orang lain tentang prestasi, mencakup pencitraan, dan pengenalan konsepnya.
Bicara reputasi tentu hal yang baik. Tak hanya perusahaan saja yang memilikinya. Tiap individu pun sejatinya juga memilikinya. Dalam konteks individu, reputasi bisa berarti menepati janji sesuai waktu yang ditentukan, bekerja dengan tuntas dan berkualitas, tidak bekerja asal-asalan, memegang amanah yang diberikan, dan banyak lagi.
Jadi bila ingin mengelola reputasi, ingatlah reputasi yang melekat pada diri Anda. Pilah dan pilih mana yang baik. Bila ada yang baik, tinggal mengelolanya saja. Yang buruk, segera tinggalkan, dan tanpa perlu tebar pesona.
Bagaimana ketika suatu masalah mengancam reputasi Anda? Tentu saja ketika mulai goyah, Anda pun harus menyelamatkannya. Tapi tak perlu dengan merogoh kocek hingga jutaan dolar seperti pabrikan mobil Mazda. Selain gak gablek duit segitu, untuk sekadar memelihara reputasi sebagai orang baik di kantor, cukuplah dengan mentraktir kolega di Warung Nasi Padang sebelah.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/930meLGrSEg