a a a a a a a a a a a a a a a
Saat Empati Hilang dari Hati
Message Of Monday

Message Of Monday

Home /
/ Saat Empati Hilang dari Hati
Saat Empati Hilang dari Hati

Saat Empati Hilang dari Hati

Message of Monday – Senin, 19 Juli 2021
Saat Empati Hilang dari Hati
Oleh: Sonny Wibisono *

“Memang bila kita kaji lebih jauh, dalam kekalutan, masih banyak tangan, yang tega berbuat nista.”
-- Ebiet G. Ade dalam ‘Untuk Kita Renungkan’

Dalam rilis yang dikeluarkan pada pertengahan Juni lalu, Charities Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan versi World Giving Index (WGI) 2021. Indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada tahun 2018, juga menempatkan Indonesia pada peringkat pertama dalam WGI.

Apa yang dirilis CAF sejatinya bukan berita yang luar biasa. Karateristik bangsa kita memang demikian halnya. Bahkan selama pandemi ini, nyata sekali gerakan warga yang membantu sesamanya tanpa keterlibatan pemerintah pusat dan daerah sama sekali.

Seorang kolega mendebat apa yang dikemukan oleh hasil riset tersebut. Terlepas dari semua itu, riset tersebut bersifat ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Sang kolega menyorot, mengapa di negeri ini tetap saja masih ada cerita-cerita bernada sumbang disana-sini. Ada saja yang mencoba mengail di air keruh. Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Apa yang dikatakan kolega tak sepenuhnya salah.

Seorang kawan bercerita mengenai obat yang dicari untuk adiknya yang terkena covid bulan ini. Menurut penuturannya, obat tersebut saat awal pandemi di tahun 2020, harganya masih 1,6 juta. Lalu dikatakan, saat ini harga resminya 9,8 juta. Bahkan ia sempat ditawari 12 hingga 14 juta rupiah. Lalu ia mendengar kabar, walau entah benar entah tidak, harganya sempat berkisar 80 juta rupiah. Wow! Walaupun ia telah berusaha dengan sekuat tenaga, adiknya akhirnya harus menghadap kepangkuan Illahi.

Belum lama ini, kita juga mendengar kelangkaan obat tertentu dan pasokan oksigen. Kalaupun ada, harganya sudah naik gila-gilaan. Polisi pun langsung bergerak cepat. Sejumlah oknum yang mencoba meraih keuntungan dengan tidak wajar akhirnya ditangkap. Banyak orang geleng-geleng kepala dengan fenomena ini. Mengapa bisa sampai segelintir orang berbuat begitu?

Saya bertanya kepada beberapa kawan yang tinggal di belahan dunia lain. Apakah fenomena ini juga terjadi disana. Mereka bercerita, bahwa pada saat tertentu memang terdapat kelangkaan obat atau fasilitas kesehatan. Tapi tidak sampai membuat harga menjadi meroket. Kalaupun ada kenaikan, masih dalam batas wajar. Para warga disana sadar, bahwa pandemi ini merupakan kesulitan bersama. Ditanggung bersama pula. Mereka saling berempati terhadap sesama.

Satu atau beberapa negara yang saya tanya ke kolega memang tak bisa dijadikan indikator. Tapi, bila kita disebut sebagai jawara negara yang paling dermawan, mengapa masih saja ada hal-hal seperti ini dijumpai?

Empati. Satu kata berjuta makna. Melakukan empati, pada dasarnya kita mencoba ’mendengarkan’ seseorang hingga ke lubuk hatinya yang terdalam. Kita mencoba mendalaminya. Melihat dari sudut pandang pemahamannya. Memahami apa yang ia lihat. Juga mengerti paradigma yang mendasarinya. Jika hal itu dilakukan, maka kemungkinan besar kita dapat memahami apa yang saat itu dirasakannya. Singkatnya, empati adalah bersatunya rasa. Namun persoalannya, tidak semua orang bisa melakukan hal itu. Itulah yang seharusnya dilakukan semua masyarakat pada saat ini.

Masih ingat saat epidemi HIV/AIDS yang pernah terjadi di dunia ini? Isu yang dihembuskan dalam menangani para pengidap virus maut ini adalah dengan jalan menumbuhkan empati. Siapa pun diharapkan dapat merasakan kesedihan yang dialami penderita HIV/AIDS, sehingga mereka tidak dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.

Kini, di saat negeri ini masih dilanda pagebluk, sejatinya rasa empati itu dapat muncul dengan seketika. Begitu melihat atau membaca media tentang para penderita atau penyintas covid. Atau mereka yang mengalami kesusahan selama pandemi ini. Misalnya para pekerja yang hilang mata pencariannya karena tidak dapat bekerja.

Lantas, apa yang harus dilakukan agar empati itu bisa terus tumbuh dalam diri seseorang? Kita harus berpikir positif terhadap segala sesuatu. Dengan hal itu, membuat langkah ke depan nantinya menjadi lebih ringan. Kita pun dapat terus berusaha mencapai tujuan yang positif daripada memikirkan hal-hal negatif yang mungkin terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Rasa empati pun dapat tumbuh bila kita senantiasa melakukan kontak sosial dengan sekitar kita. Kontak disini tak harus berkonotasi tatap muka. Tak harus juga bertemu langsung. Apalagi saat seperti ini. Kontak sosial dapat berupa apa saja yang dilakukan beberapa warga terhadap warga lainnya saat ini. Seperti sekarang ini, muncul gerakan ’warga bantu warga’. Ada banyak cara sederhana. Membeli kebutuhan sehari—hari di warung tetangga sebelah. Memesan kue atau baju lewat teman yang berjualan secara daring. Dan, bila perlu, Anda bisa terjun langsung ke lapangan sebagai relawan. Tentu dengan prokes yang ketat.

Sebagai makhluk sosial, seorang manusia seharusnya sadar bahwa ia tak sendiri. Satu saat ia pasti akan membutuhkan uluran tangan orang lain. Begitu pula, saat melihat seseorang yang mengalami kesusahan, hati nurani umumnya langsung jatuh iba. Empati pun muncul. Iba saja belum cukup. Kita bisa membantu apa yang bisa kita bantu semampu kita.

Dengan empati, saat kita menolong orang, bukan soal materinya, walau tak seberapa, tapi utamanya secara moral. Ingat, roda selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Seandainya suatu saat nanti kita mengalami kesulitan, kita sudah siap dan ikhlas dalam menerima cobaan tersebut. Saya percaya, pembaca setia Message of Monday ini merupakan orang-orang yang berhati mulia dengan empati yang tulus. Semoga.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Photo by Jackson David from Pexels
KOMENTAR

Latest Post

Tergoda Isu ViralTergoda Isu Viral
Selamat Datang 2023Selamat Datang 2023!