Message of Monday – Senin, 29 Nopember 2021 Saat Utang Mencekik Leher Oleh: Sonny Wibisono *
"Lebih baik pergi tidur tanpa makan malam daripada bangun tidur dengan utang." -- Benjamin Franklin
Belum lama terbetik berita seorang pria mencoba bunuh diri dari balkon lantai empat sebuah apartemen di Meruya, Jakarta. Tak hanya pacarnya dan warga, pihak aparat dan petugas pemadam kebakaran pun sibuk turun tangan untuk membujuk sang pria tersebut. Untungnya, ia berhasil dirayu. Percobaan bunuh diri pun berhasil digagalkan. Lantas apa penyebab pria tersebut mencoba bunuh diri? Setelah ditelisik, ia memiliki utang dari pinjaman online alias pinjol yang besar.
Kasus diatas bukanlah yang pertama dimana seorang mencoba bunuh diri karena terjerat utang pinjol. Tak terhitung sudah mereka yang mengakhiri hidupnya akibat terjerat utang pinjol. Pertanyaannya, mengapa kasus ini selalu berulang? Tidakkah satu kasus saja sudah bisa dijadikan pelajaran yang berharga?
Banyak warga, terutama di kota-kota besar, terdesak oleh kebutuhan hidup. Sayangnya, penghasilan mereka tidak cukup untuk menanggung biaya hidup yang harus dikeluarkan. Umumnya ini terjadi di kalangan menengah ke bawah. Solusi jangka pendek tentu saja meminjam uang. Meminjam ke orang terdekat mungkin sulit. Bisa karena malu atau gengsi, atau bisa juga karena sesama saudara mengalami nasib yang sama. Sama-sama hidup susah. Pinjam ke bank? Ah, lebih sulit lagi. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Itu pun belum tentu disetujui.
Maka jalan pintas bagi mereka ialah meminjam uang dari pinjol. Persyaratan mudah. Bahkan mau pinjam berapa saja dilayani. Masalahnya, bunga yang diterapkan sangat tinggi. Bahkan di atas rerata bunga bank konvensional. Hal ini bukannya tidak diketahui oleh si peminjam. Tapi opsi apa lagi yang mereka punya? Pinjol yang beredar di masyarakat luas memang banyak. Mulai dari yang legal hingga ilegal.
Lantas bagaimana caranya memotong lingkaran yang nampaknya tak berkesudahan ini? Yang pertama, ini yang paling utama, agar masyarakat tidak terjerat pinjol, hiduplah secara sederhana dan sesuai kemampuan. Yang mahal itu sebenarnya gaya hidup. Memang, dalam hidup seseorang pasti mengalami dinamika kehidupan naik turun. Baik secara ekonomi atau hal lainnya. Kecuali orang yang dilahirkan dari orok sudah tajir melintir, umumnya setiap orang pernah memiliki utang, setidaknya satu kali semasa hidupnya. Itu merupakan hal yang wajar.
Bicara nampaknya mudah supaya hidup sesuai kemampuan apa adanya. Mereka akan mengatakan, loh, mau sesederhana apa lagi? Bagaimana memang bila ternyata penghasilan mereka masih tak mencukupi untuk membiayai kehidupan sehari-hari?
Nah, disini perlunya keterlibatan masyarakat luas. Tak perlu jauh-jauh, dari orang-orang terdekat dan sekitar dulu. Dalam masyarakat perlu digalakkan gerakan atau komunitas yang membantu terhadap sesama. Dari mana dananya? Dari masyarakat sekitar juga. Ini pula pentingnya pemberdayaan dana semacam zis atau zakat, infak, dan sedekah. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Gerakan ini dapat dibentuk melalui tempat ibadah, yayasan, lembaga, atau komunitas lainnya. Ada satu masjid di daerah Jawa, yang memberikan pinjaman kepada warganya yang membutuhkan. Tak ada bunga sama sekali. Bayar bisa kapan saja sesuai kemampuan. Gerakan ini layak dicontoh. Dan makin banyak gerakan ini, tentu makin banyak masyarakat yang terbantu.
Itu dari sisi masyarakat. Bagaimana dari sisi pembuat kebijakan itu sendiri? Tak kalah pentingnya, Pemerintah harus tegas mengatur regulasi pinjol ini. Harus diterapkan aturan yang tegas mulai dari persyaratan hingga suku bunga yang dikenakan. Jangan segan-segan membekukan pinjol yang menyalahi aturan. Maraknya pinjol ini sejatinya akibat regulasi yang longgar. Karena aturan yang longgar, mereka pun tumbuh subur bak cendawan di musim hujan.
Pinjol yang menerapkan suku bunga yang mencekik leher tak ubahnya dengan lintah darat atau rentenir. Sami mawon. Mereka hanya bertransformasi dengan teknologi digital. Mau dikemas dalam bentuk apapun tetap lintah darat.
Lihatlah, bagaimana mungkin seseorang mahasiswa yang meminjam uang 1,2 juta tetiba menjadi 19 juta hanya dalam waktu 3 bulan? Dimana letak logikanya. Kadang saya tak habis pikir dengan para perusahaan pinjol tersebut. Saya yakin, bukannya mereka tidak tahu kemampuan bayar dari sang peminjam yang memang kebanyakan dari golongan bawah. Mereka pasti tahu. Tapi mengapa mereka tetap bersikeras menagih pinjaman dengan bunga-berbunga setiap bulannya atau per harinya yang dapat dipastikan tak akan sanggup atau sulit bagi si peminjam untuk melunasinya.
Kita tentu juga berharap agar para pinjol tersebut tergerak hati nuraninya. Tak ada enaknya hidup senang di atas penderitaan orang lain. Agar tidak semakin banyak warga yang hidupnya sudah susah semakin susah, ditelisik lagi persyaratan pinjamannya oleh si pinjol. Persyaratan pinjaman mau tak mau harus diperketat, tak asal diloloskan begitu saja. Bila ada kesulitan pengembalian pinjaman, mungkin bisa dipikirkan lagi skema pengembaliannya. Walau begitu, saya tetap yakin, masih banyak pinjol yang menjalankan bisnisnya dengan itikad baik.
Dan, agar tidak semakin banyak masyarakat yang terjerat utang, Pemerintah dan pihak swasta perlu membuat program-program kerakyatan dan berbasis UMKM. Tentunya disertai pinjaman dengan bunga yang ringan. Syukur-syukur nol persen. Intinya, masyarakat jangan diberi ikan, tapi kailnya.
Tak ada kata terlambat untuk membenahi regulasi pinjol ini. Hal ini agar tidak banyak masyarakat yang menjadi korban. Syaratnya, semua pihak harus bahu membahu. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus terlibat aktif. Semoga ke depannya Indonesia menjadi lebih baik lagi.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012