a a a a a a a a a a a a a a a
Satu Senja di Pasar Sunan Giri
Message Of Monday

Message Of Monday

Home /
/ Satu Senja di Pasar Sunan Giri
Satu Senja di Pasar Sunan Giri

Satu Senja di Pasar Sunan Giri

Message of Monday – Senin, 31 Oktober 2022
Satu Senja di Pasar Sunan Giri
Oleh: Sonny Wibisono *

“Roda jaman menggilas kita, terseret tertatih-tatih. Sungguh hidup terus diburu, berpacu dengan waktu.”
-- Ebiet G. Ade dalam ‘Menjaring Matahari’

Ibunda dan ayahanda wafat belum lama. Ayah pergi di tahun 2017. Sedangkan ibunda tahun 2019. Mereka dimakamkan di TPU Utan Kayu. Ada yang menyebutnya TPU Kemiri. Mereka dimakamkan dalam satu liang lahat. TPU ini tidak menerima lagi proses pemakaman karena lahan makam sudah penuh. Tak ada lagi tempat kosong. Kalaupun dimakamkan, harus di lahan atau makam yang sudah ada. Istilahnya ‘ditumpuk’.

Persis sebelah TPU ialah Pasar Sunan Giri. Karena terletak di Jalan Sunan Giri. Pasar ini berdiri pada era 70-an. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebelum mal ada dan berkembang di Jakarta, Pasar Sunan Giri merupakan satu destinasi warga sekitar dalam mencari hiburan. Waktu itu memang saya tinggal tak jauh dari tempat ini. Kadang kala, setiap akhir pekan, bersama orangtua dan kakak, kami ke tempat ini.

Pasar ini terdiri dari beberapa kios. Lebih tepatnya mungkin disebut pertokoan. Terdiri dari dua lantai. Di zamannya, bangunan ini terbilang modern. Menjual berbagai macam ragam kebutuhan, seperti perlengkapan alat tulis dan kantor, perhiasan, pakaian, elektronik, dan lain sebagainya. Ada pula penyewaan komik dan buku cerita. Tak lupa pula tersedia warung makan. Di belakang terdapat penjual sayur-mayur dan kebutuhan rumah tangga. Di lantai dua terdapat bioskop. Semua lengkap di satu tempat. Tak aneh, bila tiap akhir pekan tempat ini begitu ramai.

Ada satu toko buku yang pasti saya kunjungi bila kami ke sini bersama orang tua. Toko buku ini masih eksis hingga kini. Dulu toko buku ini begitu ramai. Selain perlengkapan alat tulis-kantor, juga banyak dijual berbagai buku cerita dan majalah. Oh ya, dulu belum ada Toko Buku Gramedia Matraman dan Toko Gunung Agung. Baru tahun 90-an, Toko Buku Gramedia di Jalan Matraman berdiri.

Saat mal mulai banyak bermunculan, tempat ini perlahan mulai redup. Tak lagi ramai seperti dulu pada masa jayanya. Pada siang atau malam hari, lahan parkir memang terlihat penuh pada saat sekarang ini. Tapi kabarnya mereka parkir untuk makan di satu rumah makan Padang ternama yang berada di depan pasar. Itu cerita dari seorang pedagang.

Nah, akhir pekan lalu, menjelang sore hari, saya ke Pasar Sunan Giri. Bukan untuk belanja. Tapi hanya memarkir kendaraan saja. Tujuannya ke TPU untuk berziarah. Lahan parkir di area TPU sangat terbatas. Sudah begitu, jalan kendaraan pun tidak lebar. Bila ada proses penguburan, wah, sudah pasti ramai dan akan sulit bergerak untuk semua jenis kendaraan. Yah, dengan berjalan kaki, hitung-hitung menyehatkan badan.

Mendoakan orangtua yang telah tiada hukumnya wajib. Tapi berziarah ke makam tentunya makin afdol. Itu juga sebagai pengingat kita bahwa kematian pasti datang menjemput. Bukan begitu kawan?

By the way, tak lebih dari 15 menit saya berziarah. Kembali dari ziarah menuju parkiran pasar, saat hendak membuka pintu kendaraan, tetiba remote kendaraan tak bisa digunakan. Dipencet berulang kali, pintu tak bisa dibuka. Otomatis saya membuka pintu kendaraan secara manual. Alarm pun berbunyi. Memekakkan telinga. Akhirnya, saya copot kabel remote yang tersambung ke aki. Urusan satu selesai.

Seingat saya, di Pasar Sunan Giri banyak sekali tukang service jam tangan. Saya duga batere remote habis. Segera saya mencari seorang tukang service tersebut. Lapak mereka luasnya tak lebih dari 1 meter persegi. Mangkalnya di depan parkiran atau depan toko.

Batere remote mobil bentuknya tak jauh beda dengan batere jam tangan biasa. Berapa batere plus biaya pasangnya? 70 ribu rupiah saja. Memang saya malas untuk menawar ke pedagang kecil. Perkiraan saya, harga batere sekitar 25 ribu. Selama harga masih reasonable, tak masalah bagi saya.

Sambil mengutak-atik remote mobil, sambil lalu saya ajak mengobrol si bapak tukang service. Ada banyak kerutan di wajahnya. Umurnya saya perkirakan 60 tahunan. Ia membuka lapak itu sudah lama. Sewanya 150 ribu rupiah per bulan. Atau 5 ribu rupiah per hari.

Apakah menguntungkan dengan membuka lapak di situ? Apalagi saingannya tidak sedikit. Yang pasti, ia bisa membayar sewa per bulan dan masih ada keuntungan yang diperoleh. Walau tidak seberapa katanya, jauh beda sebelum pandemi. Ia juga mengatakan, tempat ini makin berkurang pengunjungnya di saat pandemi.

Akhirnya, tak sampai lima menit, urusan remote selesai. Sengaja saya memutar menyusuri lorong pertokoan sebelum menuju kendaraan yang di parkir.

Ah, saya teringat ketika menyusuri lorong demi lorong pertokoan ini pada waktu kecil. Begitu ramai dengan orang yang lalu lalang. Ada yang berbelanja atau hanya sekedar melihat-lihat. Bahkan untuk berjalan pun agak tersendat karena begitu padatnya pengunjung. Ramai pokoknya.

Sekarang? Hanya segelintir saja orang yang terlihat. Rumah makan Padang yang berada di depan Pasar Sunan Giri, seingat saya dibuka seminggu setelah Pasar Sunan Giri ini dibuka untuk umum. Rumah makan ini sendiri sekarang makin bagus dan berkembang pesat. Tempatnya pun makin luas.

Ya, zaman telah berubah. Pandemi pun ikut-ikutan mengubah segalanya. Perubahan terjadi dimana-mana. Begitulah faktanya. Siap atau tidak siap, kita harus siap menghadapinya.

Dalam keadaan serba sulit sekarang ini, bagi sebagian orang, memang tak banyak pilihan yang ada dalam hidup ini. Bertahan hidup secara trengginas dengan segala daya dan upayanya, walau hanya sekedar menjadi tukang service jam. Atau menyerah, yang membuat tergilas, bahkan bisa-bisa menjadi beringas. Tinggal pilih kawan.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012




KOMENTAR

Latest Post

Tergoda Isu ViralTergoda Isu Viral
Selamat Datang 2023Selamat Datang 2023!