Message of Monday – Senin, 18 Oktober 2021 Sekarung Cinta Dari Garut Oleh: Sonny Wibisono *
"Jalan jalan di akhir pekan, lihat ke kiri dan ke kanan. Pohon-pohon dan burung-burung, semua menyambut riang." -- Shaggydog dalam 'Jalan-Jalan'
Mardi memeriksa sekali lagi isi tasnya. Ya, semuanya sudah lengkap. Pakaian, peralatan mandi, dan charge ponsel semuanya sudah masuk ke dalam tas. Jumat sore sepulang kerja, ia berangkat menuju Garut bersama ke lima rekan kerjanya. Mukhdi, Didi, Andi, Titin, dan Ningsih. Teman satu kantor mereka, Dino, mengadakan resepsi pernikahan di kota asalnya, Garut.
Sebenarnya resepsi itu diadakan hari Sabtu pagi hingga sore hari. Tetapi atas usul beberapa rekan yang lain, mereka ingin menginap semalam dahulu di Bandung. Dan bila sempat, mereka ingin menikmati dahulu Bandung di waktu malam dengan berkeliling kota.
Perjalanan ke Bandung akhirnya ditempuh dalam waktu tiga setengah jam lebih. Rencana awal sedikit meleset. Hal ini disebabkan mereka terjebak macet di jalan. Hampir satu jam kendaraan mereka tertahan di Tol Cikampek. Belum lagi kepadatan arus lalu lintas di tengah kota menjelang weekend.
Di Bandung, Mardi dan rekan-rekan yang lain, hanya dapat menikmati makan malam saja. Setelah itu mereka langsung beristirahat. Mereka tak sempat lagi untuk berkeliling kota Bandung di malam hari. Selain kelelahan, hari pun semakin larut.
Setelah badan kembali segar keesokan harinya, tepat pukul tujuh pagi, mereka melanjutkan perjalanan menuju Garut. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Di Garut, acara resepsi berlangsung meriah. Selepas makan siang, mereka pun pamit dari tempat resepsi.
Andi sendiri tidak ikut bersama ke lima rekannya untuk pamit. Sore itu ia berjanji bertemu dengan teman sekolahnya semasa SMA dulu. Sang teman, merantau dan bekerja di Kota Garut. Kini ia hidup bersama istrinya yang asli orang Garut dan kedua anaknya. Sudah puluhan tahun Andi tidak bertemu dengannya. Teman sekolahnya akan menjemput Andi di tempat resepsi tersebut. Sedangkan ke lima rekan kerja Andi berjanji akan menjemput Andi di Alun-Alun Kota pada pukul sembilan malam.
Mardi, Titin, Ningsih, Didi, dan Mukhdi memang berencana menikmati Kota Garut dan sekitarnya. Dari tempat resepsi, mereka berlima menuju Bukit Alamanda. Bukit Alamanda merupakan daerah perbukitan dengan pemandangan yang indah. Tak beda jauh dengan daerah Puncak. Banyak tempat penginapan dan hotel di daerah ini. Dari sini, mereka melanjutkan ke Singaparna. Daerah perbatasan antara Tasik dan Garut. Ditempuh dalam waktu kira-kira setengah jam dari Kota Garut. Disini, mereka ingin sekali mencicipi Kupat Tahu, makanan khas Tasik.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Mereka tak sempat lagi mampir ke Situ Bagendit dan Candi Cangkuang. Dua tujuan wisata Kota Garut bagi para pelancong. Selain mereka belum membeli oleh-oleh, mereka harus menjemput Andi di Alun-Alun.
Mereka tiba di Kota Garut sekitar pukul delapan. Tak lupa mereka membeli oleh-oleh khas Kota Garut. Apa yang dibeli mereka? Ada dodol dan chocodot. Chocodot merupakan dodol yang dicampur coklat dengan berbagai varian rasa. Lalu ada pula Burayot, kue khas Garut. Juga Dorokdok, atau dikenal dengan kerupuk kulit. Ya, kebanyakan memang makanan yang mereka beli. Bila digabung, ada sekarung mereka bawa oleh-oleh tersebut.
Semua membeli, kecuali Mardi. Hal ini membangkitkan tanda tanya rekan-rekan yang lain. Mengapa tidak membeli oleh-oleh tanya mereka keheranan. Mardi hanya tersenyum saja. Ia memang tidak kepingin saja.
Mendekati jam sembilan malam, Andi dijemput di Alun-Alun. Mereka pun bergerak meninggalkan Kota Garut. Belum lima menit perjalanan, Andi berteriak. Hal ini membuat kaget ke lima rekannya. Ia kelupaan membeli oleh-oleh pesanan istri dan anaknya. Andi sudah terlanjur berjanji. Ia benar-benar tak mau mengecewakan keluarganya. Ia meminta rekan-rekannya kembali ke Kota Garut. Teman-temannya tak ada yang keberatan. Tapi mereka semua bertanya, apa masih ada toko yang buka pada jam segini.
Betul juga. Sepanjang Jalan Otista, semua toko boleh dikatakan telah tutup. Tapi Andi tak putus asa. Ia meminta untuk mengitari jalanan kota Garut. Siapa tahu ada yang buka. Usaha Andi tak sia-sia. Ada satu toko di Jalan Leles yang nyaris menutup rolling door. Dengan tergesa-gesa, Andi menyapa sang pemilik toko dan mengatakan untuk tidak menutup tokonya dahulu.
Mardi yang sedari tadi cuek dengan urusan oleh-oleh, bertanya kepada rekan-rekannya di mobil. Untuk siapa saja oleh-oleh itu diberikan. Jawaban dari rekan-rekannya beragam. Titin dan Ningsih membeli oleh-oleh untuk teman kost mereka. Maklum, mereka berdua belum berumah tangga. Kalau ibu pemilik kost mampir kesana, Titin dan Ningsih sudah siap memberinya. Mukhdi lain lagi. Ia ingin menikmati sendiri makanan itu di tempat kostnya. Mukhdi sendiri juga belum menikah. Teman-teman kostnya katanya tak ambil pusing bila rekan satu kost mereka bertugas keluar kota. Dibawakan oleh-oleh syukur. Tak diberi juga tak apa-apa. Jadi bukan suatu keharusan, kata Mukhdi.
Hanya jawaban Didi yang membuat kening Mardi berkerut. Didi sebenarnya juga belum berkeluarga. Ia membelikan oleh-oleh itu untuk beberapa keluarganya yang tinggal di Jakarta. Orangtuanya sendiri tinggal di Kota Solo. Biasanya dua atau tiga bulan sekali Didi baru pulang menemui orangtuanya. Oleh-oleh itu ia tujukan untuk saudara ibunya dan ayahnya yang tinggal di Jakarta. Karena merekalah saudara terdekat yang dimiliki Didi di Jakarta. Didi selalu mengingat pesan dari ibunya. Agar tak lupa membawakan penganan bila mampir ke rumah saudaranya atau bila ia tugas ke luar kota. Penganan itu tak perlu banyak dan mahal. Ibunya juga tak memaksa Didi harus membelinya. Itupun bila Didi mempunyai uang untuk membelinya.
Oleh-oleh, memiliki multi-fungsi, Didi mencoba berfilosofi. Katanya, bukan dari faktor harganya, melainkan dengan oleh-oleh itu, orang lain merasa diperhatikan, disayang, dan diingat di mana pun mereka berada. Katakan cinta dengan oleh-oleh, ujar Didi berpuitis. Mendengar jawaban panjang lebar dari Didi, Mardi pun tertegun sesaat. Apalagi ditambah Andi yang bersikukuh mencari oleh-oleh membuat Mardi tetiba berubah sikapnya.
Tahu-tahu Mardi membuka pintu mobil. Menyusul Andi yang sudah lebih dahulu ada di dalam toko. Dalam waktu tak kurang dari sepuluh menit, Mardi menenteng tiga tas penuh berisi oleh-oleh. Kali ini rekan-rekannya yang hanya bengong melihat Mardi memborong oleh-oleh.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012
Sumber foto: https://infogarut.id/sempat-tergores-jadi-ini-asal-usul-nama-garut/